Api yang melompat dari satu puncak bukit ke puncak bukit yang lain di kota pelabuhan Valparaiso, Cili, menewaskan 16 orang, menghancurkan 500 rumah, dan memaksa lebih dari 10.000 orang mengungsi, termasuk 200 narapidana perempuan di wilayah itu.
Api mulai muncul pada hari Sabtu (12/4), di daerah berhutan di atas permukiman kumuh pada salah satu puncak bukit di kota itu. Dengan cepat, api menyebar bersama angin kencang, menjatuhkan abu panas ke atas permukiman warga yang berbahan kayu dengan jalanan sempit. Listrik padam seiring meluasnya api.
“Ini adalah sebuah tragedi yang luar biasa. Bisa menjadi kebakaran terburuk dalam sejarah kota,” ujar Presiden Cili Michelle Bachelet. Pemadaman api melibatkan pula 18 helikopter dan pesawat untuk menjatuhkan air di wilayah yang terbakar, Minggu.
Bachelet mengatakan, korban tewas dan kerusakan kemungkinan meningkat setelah petugas bisa mengakses puing-puing yang membara. Polisi Militer Jenderal Julio Pineda mengatakan, 16 orang tewas dan lebih dari 500 orang terluka. Patricio Bustos, yang mengarahkan layanan forensik nasional, mengatakan, tes DNA akan diperlukan untuk mengidentifikasi sisa-sisa jenazah.
Dengan data saat ini, kebakaran tersebut sudah merupakan yang terburuk di kota berpenduduk 250.000 orang itu sejak 1953. Pada 1953 kebakaran menewaskan 50 orang dan menghancurkan semua bangunan di puncak-puncak bukit kota itu.
Valparaiso, yang dinyatakan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2003, dikenal karena warna-warni perbukitan yang mengitarinya, yang puncaknya hanya bisa dicapai dengan tangga alih-alih mendaki. Kota ini berjarak 120 kilometer di barat laut ibu kota Cili, Santiago, dengan pelabuhan dinamis yang menjadi "rumah" bagi legislatif nasional Cili.
Meski demikian, banyak perumahan miskin di atas pusat kota, yang dibangun tanpa air maupun akses jalan memadai bagi para petugas pemadam kebakaran.
“Ini adalah bencana terburuk yang pernah kulihat,” kata Ricardo Bravo, gubernur wilayah itu. “Sekarang kita harus memastikan api tidak mencapai pusat kota, yang [seumpama terjadi] akan membuat darurat ini jauh lebih serius.”
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR