Masa kanak-kanak adalah masa terindah. Tapi, dunia ternyata tak melulu indah. Masa bermain, polos, ceria, tanpa beban ini ternyata bukan tanpa ancaman. Orang-orang terdekat, yang seharusnya melindungi, bisa jadi musuh dalam selimut.
Dalam kasus-kasus macam ini, "Selalu terjadi fenomena gunung es. Kasus yang terjadi jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan," tutur Helmyna Magdalena Sitorus dari SIKAP, Solidaritas Aksi untuk Wanita dan Anak Korban Kekerasan, yang dirintis sejak 1996. "Satu kasus, bisa melibatkan lebih dari satu korban."
Ada dua penyebab enggan melaporkan. Kekerasan seksual, masih cenderung dianggap aib yang harus ditutupi daripada merasa jadi korban dan perlu bantuan. Kedua, malas berurusan dengan pihak berwenang. Khawatir alih-alih dibantu malah dapat tekanan dan perlakuan tak simpatik. Pandangan ini wajib jadi tantangan bagi semua untuk diluruskan.
Jangan remehkan keluhan anak
Tak perlu heran bila kasus-kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual, kadang terungkap lama sesudah kejadiannya.
"Ada yang ketahuan enam bulan kemudian," papar Maria Herlina Limyati, psikolog dari Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo (PKT RSCM) mengenai kekerasan seksual pada anak. "Ketika ada anak lain yang jadi korban dan antar-orangtua saling cerita dan kemudian mengecek ke anak masing-masing."
Faktor utamanya? "Anak yang jadi korban biasanya mengalami ancaman dari pelaku. Apalagi, bila si pelaku adalah orang yang punya kedudukan disegani masyarakat dan sulit dibayangkan untuk melakukan perbuatan itu." Sebutlah guru, pemuka agama, tetangga, paman, kerabat dekat, kakak kelas.
Maka, orangtua yang harus peka bila tiba-tiba perilaku anak berubah pendiam, penyendiri, sulit makan dan tidur, ngompol. "Gejalanya serupa pada anak perempuan maupun lelaki," kata Maria. Juga bila tiba-tiba anak tampak enggan dan takut bila berdekatan atau didekati tetangga yang biasanya akrab, paman, bahkan kakak atau ayahnya sendiri.
Lihat juga: Kiat Menghadapi Anak Korban Pelecehan Seksual
Di sinilah saatnya orangtua menjadi sahabat anak agar mereka mau terbuka. Salain takut pada ancaman pelaku, dengan pengalaman buruk itu, si anak telah terguncang sendiri. Tumbuh rasa bersalah, khawatir kalau-kalau ia tak disayang lagi kalau orangtua mengetahui apa yang telah menimpanya.
Dengan kata-kata lembut, bujuk, yakinkan anak, bahwa orangtua takkan marah, takkan menyalahkan, takkan menambah beban penderitaannya. Dilemahlembuti seperti ini pun, tak semua anak bisa langsung cerita. Banyak yang hanya menangis karena sebenarnya belum paham sepenuhnya apa yang telah mereka alami, hanya tahu bahwa sesuatu yang salah telah menimpa.
"Rentang usia anak yang jadi korban adalah tiga tahun sampai kelas 6 SD, dan yang terbanyak adalah sekitar kelas 4 SD. Anak kelas 6 SD atau SMP jarang, mungkin karena mereka telah lebih mengerti bila dilecehkan secara seksual."
Anak yang belum mengerti sepenuhnya pun sebenarnya telah punya naluri untuk membedakan perlakuan, elusan misalnya, yang benar-benar atau memperalat “rasa sayang.” Jadi, jangan remehkan keluhan anak.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR