Perayaan Hari Buruh 1 Mei ini akan menjadi demo buruh terakhir bagi pemerintahan Presiden Yudhoyono. Tanggal 1 Mei ini sekaligus juga menjadi perayaan pertama Hari Buruh dengan status libur resmi, setelah tahun lalu 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur resmi nasional sebagaimana pada era Orde Lama.
Pada perayaan Hari Buruh di masa lalu, Bung Karno, yang selalu hadir dalam perayaan Hari Buruh, menyatakan, perjuangan politik paling minimum gerakan buruh adalah mempertahankan politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat.
Selanjutnya Bung Karno mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasikoperasi buruh, dan sebagainya.
Gerakan buruh Indonesia telah sampai pada tahap politieke toestand, tetapi Soekarno pasti akan kecewa karena kebebasan berserikat yang dimiliki buruh, bukannya dimanfaatkan untuk memasuki fase lanjutan machtsvorming, tetapi dilakoni dengan mendirikan banyak organisasi buruh, berlomba-lomba menjadi pemimpin buruh. Kekalahan dalam kongres direspons dengan membentuk serikat baru dengan membawa pendukungnya keluar dari organisasi yang telah lama membesarkannya. Pemimpin baru yang belum matang ini selanjutnya menghadapi masalah pengerdilan diri sendiri (self-destruction).
Perpecahan organisasi buruh menjadi titik lemah perjuangan buruh Indonesia. Agenda besar untuk menjadikan gerakan buruh sebagai kekuatan penyeimbang atas kapitalisme bisa tersingkir akibat menurunnya kekuatan anggota, pengaruh politik, dan kemampuan finansial.
Secara keseluruhan gerakan buruh Indonesia lima tahun terakhir memang bertumbuh pesat. Bahkan, di Asia, Indonesia mendapat pengakuan sebagai yang berkembang pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian bagus. Sayangnya keberhasilan ini belakangan mulai memudar akibat berlanjutnya fragmentasi organisasi buruh.
Hampir semua serikat buruh mengalami perpecahan akibat kegagalan mengelola konflik internal organisasi, mengedepankan egoisme, dan menjauh dari pusaran penyatuan gerakan. Tentu saja bukan ini yang dicita-citakan Soekarno, almarhum Marsinah, dan kaum buruh yang menanti perubahan nasib.
Gelombang ketiga gerakan buruh
Dalam sejarah gerakan buruh internasional, gerakan buruh di Eropa dan Amerika akhir 1800-an dinobatkan sebagai generasi awal pengakuan gerakan buruh sebagai kekuatan penyimbang keserakahan kaum kapitalis. Dari era inilah lahir sistem jaminan sosial, upah minimum, Hari Buruh (May Day), pembatasan jam kerja, jaminan keselamatan kerja, serta perundingan bipartit dan tripartit.
Melalui perundingan dan tekanan politik, serikat buruh menjadi lembaga yang berperan dalam distribusi ekonomi di luar mekanisme pajak. Sejarah telah mengajarkan, perbaikan nasib buruh tidak pernah datang dari niat baik pemilik modal atau pemerintah yang baik. Seperti keyakinan Bung Karno bahwa perbaikan nasib bagi kaum buruh, termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, hanya mungkin terjadi jika gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa pengusaha. Tanpa melakukan desakan yang kuat pengusaha akan bergeming.
Generasi kedua gelombang gerakan buruh dunia terjadi di Brasil, Korea Selatan, Jepang, Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan yang dimulai pada era 1970-1980-an. Sebagai generasi kedua yang mengikuti jejak generasi awal, mereka berhasil melembagakan apa yang telah terjadi di Eropa. Secara kebetulan momentum ekonomi-politik di negara ini tersedia dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, meluasnya industrialisasi, dan demokrasi yang melembaga. Akhirnya jadilah mereka pewaris keberhasilan gerakan buruh di Eropa. Dunia terus berubah dengan lahirnya negara-negara dengan kekuatan ekonomi baru.
Jauh dari harapan
Satu hal yang dinantikan gerakan buruh internasional adalah lahirnya gelombang ketiga gerakan buruh di negara berkembang ini. Tidak hanya dalam bentuk sebuah institusi, tetapi juga gerakan buruh sebagai garda utama pembela kepentingan buruh, mitra pengusaha dan pemerintah, memiliki kompetensi berimbang, punya kapasitas menawarkan alternatif kebijakan ekonomi, memiliki pengaruh dan lobi politik, profesional, dan tidak memintaminta jabatan dan uang. Mengingat Indonesia anggota kelompok G-20, serikat buruh dunia menolehkan pandangannya ke Indonesia. Menanti dimulainya sejarah baru yang diharapkan menggelinding seperti bola salju ke negara lain.
Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang terus membaik, urutan ke-13 dunia dalam besaran PDB, negara demokrasi keempat terbesar, dan telah meratifikasi konvensi penting ILO 87 tentang jaminan kebebasan berserikat. Kondisi yang tidak tersedia di negara tetangga. Bahkan, Tiongkok, India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam belum mau meratifikasi konvensi ILO 87 karena khawatir kehadiran serikat buruh yang kuat akan mengurangi kemampuan kompetitif ekonomi dan mendestabilitasi politik domestik.
Padahal, pengalaman internasional dan laporan OECD dari tahun ke tahun menunjukkan, serikat buruh yang kuat berkontribusi terhadap menurunnya ketimpangan ekonomi dan pendapatan, memperkuat hubungan industrial yang damai, mengurangi jumlah demo, dan memperkuat demokrasi. Lihatlah negara yang memiliki tradisi serikat buruh kuat seperti Jerman, Inggris, negara Skandinavia, Jepang, Brasil, dan Australia, pasti memiliki rasio gini untuk ketimpangan yang kecil, demokrasi stabil, demo buruh pun nyaris tidak pernah terjadi. Apalagi demo yang berkaitan dengan upah minimum.
Sayangnya harapan dunia atas hal itu masih jauh harapan. Gerakan buruh Indonesia saat ini masih berkutat di atas tuntutan-tuntutan mikroekonomik, seperti upah minimum, kasus advokasi, tuntutan normatif, dan perebutan jabatan. Ini mungkin akibat minimnya kapasitas mereka memasuki wilayah isu makro, mengajukan alternatif sesuai pengalaman internasional, atau menjadikan pelanggaran kebebasan berserikat sebagai ”kambing hitam”. Mereka akan kaget dengan fakta kebebasan berserikat di Indonesia salah satu yang paling liberal di dunia karena setiap saat bisa mendirikan serikat tanpa pernah diverifikasi atas kebenaran jumlah anggota, cakupannya, dan aktivitasnya, dan setiap waktu bebas menggelar demo.
Yang paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh memperbaiki nasib buruh Indonesia termasuk buruh migran. Mumpung momentum sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Serikat buruh Sarbumusi dan Gasbindo ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), sementara SOBSI ikut mendirikan wadah serikat buruh sosialis (WFTU).
Salah satu yang penting dibenahi untuk pemimpin nasional adalah agenda penyatuan gerakan buruh (baca: bukan penyatuan struktur) karena itu adalah prakondisi yang diperlukan untuk efektif menjadi kekuatan penekan. Tanpa ini kekuatan buruh hanya cenderung jadi pemintaminta. Selanjutnya, penguatan kapasitas pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh dunia lain. Pemimpin buruh tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasionalis, mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. Jadi, jangan berhenti hanya sebagai jago kandang. Saatnya memilih, senantiasa sebagai pesorak (spectators) atau menjadi pemain (players)?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR