Ketika teroris di Nigeria melancarkan penculikan terorganisir, pada bulan lalu, mereka bukan menarget pada barak-barak tentara, kantor kepolisian, ataupun markas drone (pesawat nirawak). Kenyataannya sasaran kelompok militan Boko Haram adalah gadis-gadis yang bersekolah.
Perempuan terdidik sepertinya memang membuat risau kaum ekstremis. Itulah juga alasan serangan (penembakan) Taliban terhadap Malala Yousafzai, seorang gadis Pakistan yang pada saat itu masih belum lagi berusia 15 tahun.
Mungkin langkah Boko Haram menculik gadis-gadis terpandai dan terambisius di daerah itu dan mengumumkan rencana untuk menjual mereka sebagai budak—sekalipun barbar— dapat dipandang sebagai cara yang rasional untuk mempertahankan keterbelakangan.
Taktik Boko Haram membelenggu bakal runtuh ketika kaum perempuan mulai \'menyentuh\' sang jendela dunia alias buku. Begitulah kira-kira.
Satu contoh kekuatan dari perempuan terdidik yaitu di Bangladesh, yang sampai dengan 1971 masih berada dalam posisi lemah sebagai bagian dari Pakistan.
Setelah Bangladesh merdeka, mereka secara serius menitikberatkan kebangunan pada pendidikan, tidak terkecuali pendidikan bagi anak-anak perempuan. Saat ini para perempuan terdidik di negara tersebut tersebut sudah menjadi tulang punggung di lembaga keuangan, berbagai organisasi pengembangan dan sektor industri garmen.
Dengan memenjarakan perempuan, kaum ekstremis seperti Boko Haram otomatis mendapat manuver kekuatan untuk menutup jalan transformasi bagi komunitas masyarakat.
Mengedukasi seorang anak laki-laki, efeknya tak terlalu besar. Akan tetapi setiap anak perempuan yang berkembang menjadi wanita dewasa terdidik menghasilkan efek signifikan terhadap keluarga—suami yang didampinginya serta anak-anak yang dibesarkannya.
Maka inilah seharusnya cara kita juga untuk melawan terorisme ini. Bersandar kepada prioritas di dalam hal hak pendidikan kaum wanita lebih efektif ketimbang memberantas teroris dengan jalan kekerasan.
"Yang menyedihkan hari saya adalah kami di (negara) Barat malah tidak mau ikut menyikapinya secara rasional justru melawan secara militan, AS hari ini berinvestasi besar-besaran untuk senjata militer, tapi sesungguhnya ranah edukasi adalah perang yang jauh lebih baik," tulis pengamat Nicholas Kristof di kolom opini SundayReview-New York Times.
Kristof menulis: tiap 1 persen peningkatan populasi penduduk usia 15-24 tahun, risiko perang sipil pun meningkat sampai 4 persen.
Masih dalam tulisannya, Kristof menyinggung pula Presiden Obama yang memberikan lampu hijau untuk menghancurkan para teroris dengan drone namun alpa pada janjinya di kampanye tahun 2008 lalu mengenai bantuan dana AS untuk pendidikan global sebesar US$2 miliar.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR