Cara makan tiga satwa ini berbeda. Kalau elang merusak sedikit hanya menggunakan cengkeraman kaki. Namun, kalau sarang dirusak, lebah tetap pergi.
Berbeda dengan beruang, kala merusak sarang meninggalkan jejak lewat kuku ketika memanjat pohon. Beruang makan madu cukup banyak. Sarang lebah pasti hancur berserakan ke tanah.
Lebih parah orangutan. Satwa ini tak meninggalkan jejak sama sekali. Dia seperti manusia, punya telapak tangan, telapak kaki, dan jari-jari. “Anak lebah akan dimakan. Sarang diambil dan memakan sambil duduk di atas tikung. Orangutan makan madu sampai habis.”
“Saya tahu orangutan ini dilindungi. Jadi kita harus menjaga. Kami juga petani harus diperhatikan. Paling tidak bangunkan kami jalan.”
Menurut dia, agar ada akses darat mengelilingi Danau Miuban sekitar tiga kilometer. Mereka perlu dana operasional, sekitar Rp20 juta. “Petani sukarela mau menebas. Dana itu akan buat konsumsi dan lain-lain.”
Dengan ada jalan lingkar danau, gangguan satwa bisa diminimalisasi. “Kalau ini tak dilakukan, saya kira petani madu terus merugi. Kita tidak tahu hati orang. Kalau sudah diam-diam ketika melihat orangutan, maksudnya apa? Masih mending saya, selalu ngomong kalau ada masalah.”
Di Danau Miuban, Mas’ud punya tiga tikung. Pada 2010-2013, lebah banyak datang, tapi orangutan juga ganas. Pada 2012, rata-rata petani di Desa Ujung Pandang dapat 10 sarang dalam satu tikung. Delapan tikung terpasang. Jika dihitung bulat, ada 80 sarang.
Tahun itu, katnya ada tiga tikung dirusak satwa dengan perkiraan tiga kilogram per sarang, berarti ada 30 kilogram hilang.
“Harga madu Rp100.000 per kilogram. Jadi kerugian satu orang Rp3 juta. Kalau madu tadi 8×30 berarti 240 kilogram dikali Rp100.000 berarti Rp24 juta kerugian petani semusim,” kata Mas’ud.
Namun, apa yang dialami petani belum seberapa. Dibandingkan jika perkebunan sawit skala besar masuk. “Saya yakin masalah ini lebih besar. Pakan satwa akan habis. Yang tersisa tinggal danau saja.”
Penulis | : | |
Editor | : | Santi Hartono |
KOMENTAR