Nugraha Wanda Jatmika (56) berjalan perlahan mengikuti rombongan. Kamera digantung di leher, sedangkan tas ransel berisi minuman dan obat-obatan menempel di punggung. Diabetes yang dideritanya tak mengalahkannya untuk bertualang.
Beberapa kali wiraswasta ini sempoyongan, tetapi tetap bersemangat. Saat rombongan memasuki goa, ia pun turut. Ketika meniti batuan licin di tepi Sungai Citarum, Jawa Barat, Sabtu pagi, awal Mei 2014, itu, ia menolak kalah. ”Jangan khawatir, sebelum berangkat sudah suntik doping dulu,” kata Nugraha, lalu terkekeh. Doping yang ia maksud adalah suntik insulin penurun gula darah.
”Waktu muda saya pencinta alam. Sering naik gunung. Saya ikut mendirikan Jamadagni— perhimpunan penjelajah alam SMA 3 Bandung—tahun 1978,” katanya, yang mengetahui dirinya terkena diabetes tahun 2004. Saat itu, ia sempat dirawat di rumah sakit karena kadar gula darahnya 710 mg/dl. ”Dokter menyarankan jalan santai saja di dekat rumah, tetapi saya tidak betah. Jalan ke alam seperti ini justru memberi semangat hidup.”
Beberapa kali ia berhenti mengambil foto. Mayoritas obyeknya adalah rekan bertualang pagi itu, anggota komunitas MataBumi. ”Selain jalan ke alam, persahabatan di komunitas adalah tujuan saya ikut. Enak suasananya, tidak membedakan umur, pekerjaan, atau titel. Saya banyak punya teman baru dari kegiatan ini,” kata Nugraha, yang ikut petualangan gagasan komunitas MataBumi sejak awal diselenggarakan tahun 2010.
Komunitas MataBumi didirikan alumnus JANTERA (Perhimpunan Mahasiswa Pencinta Alam-Jurusan Pendidikan Geografi) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. ”Konsepnya pendidikan kebumian di luar kelas dengan melihat, mengenal, dan mengalami langsung,” kata T Bachtiar, salah satu pendiri MataBumi.
Rata-rata dua bulan sekali komunitas ini bertualang bersama. ”Terkadang sebulan sekali kalau anggota komunitas meminta. Sekali jalan rata-rata 60 orang,” kata Bachtiar. ”Separuh anggota rombongan biasanya orang baru. Jadi tiap saat anggotanya bertambah.”
Selain jalan-jalan, Bachtiar, yang juga anggota Masyarakat Geografi Indonesia, biasanya memandu peserta dengan cerita sejarah, mitos, hingga proses geologi yang membentuk bentang alam. Selain Bachtiar, yang biasa turut memandu adalah Ketua Program Studi Fakultas Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Bramantyo.
Lokasi perjalanan paling sering di Jawa Barat, seperti Gunung Patuha-Kawah Putih, Gunung Galunggung, Gunung Papandayan, Curug Malela, dan Goa Pawon. Rute dan besaran iuran untuk membayar akomodasi perjalanan biaya sewa bus dan makan siang biasanya dibahas melalui media sosial, Facebook. ”Peserta boleh siapa saja, sesuai kondisi medan, mulai anak SD sampai pensiunan guru besar,” kata Bachtiar.
Belajar bersama
Petualang termuda hari itu adalah Muhammad Kenshi (7), yang didampingi orangtuanya. Berjalan di depan ayahnya, ia tak bisa menyimpan penasarannya. Setelah menempuh perjalanan 30 menit menyusuri jalan setapak naik turun, perjalanan tiba di mulut Goa Sanghyangpoek, di tepi Sungai Citarum. Sesekali Kenshi mencoba melongok ke dalam goa gelap gulita itu.
”Tuh, kan, pak, tidak ada ’batman’ di dalam goa,” katanya di mulut goa. Batman yang dimaksud adalah kelelawar, yang sebelumnya diceritakan ayahnya guna memberi semangat.
Alfath Kamil Baeli (8), peserta anak lainnya, terlihat bersemangat saat memasuki goa. Ditemani cahaya lampu redup, ia melihat titik-titik berkilauan berbentuk kanopi. Ia serius menyimak ketika dijelaskan bahwa kemilau itu adalah titik kuarsa hasil sedimentasi kapur dan air.
”Goa ini masih hidup, tandanya masih ada air menetes,” ujar Bachtiar, yang mendongeng sepanjang perjalanan itu.
Ajakan Bachtiar masuk lebih dalam ke perut goa ditanggapi Alfath gembira. Beberapa kali ia terpeleset, tetapi terus maju. Bagian belakang goa yang lebar dan tinggi membuatnya takjub.
Alfath bagai menemukan dunia baru saat mencapai sisi lain goa yang ternyata tembus persis di tepi Sungai Citarum dengan air jernihnya. Kondisi itu sungguh jauh berbeda dengan aliran Sungai Citarum lainnya. Aliran Sungai Citarum di dekat Sanghyangpoek itu relatif bersih.
Alfath meninggalkan ibunya, Noorna Hindayati (41), manajer salah satu biro perjalanan di Sumedang. Ia lalu memanjat batu tinggi besar berukuran 6 meter. Butuh sekitar 10 menit memanjat sebelum akhirnya ia berdiri bangga di puncak. ”Saya sudah tiga kali ikut seperti ini. Di sekolah biasanya suka saya ceritakan kepada teman-teman. Bangga karena tidak ada teman lain seperti saya,” kata Alfath.
Noorna dan Alfath harus menempuh perjalanan 40 kilometer dari Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, menuju Museum Geologi Bandung, titik keberangkatan rombongan. ”Ia selalu ingin ikut meski kadang sangat jauh. Terakhir, kami sembilan jam di atas truk menuju Curug Citambur. Bukannya kapok, malah minta ke sana lagi,” kata Noorna.
Perjalanan jauh juga bukan halangan Endah Purnami (39), yang bermukim di Batam, Kepulauan Riau. Empat tahun terakhir, petualangan ke alam bersama MataBumi tak pernah dilewatkannya. ”Saya sengaja ambil cuti saat hari Minggu atau Sabtu pas ada jadwal jalan dengan MataBumi,” katanya.
Sejauh ini, ia mengunjungi kawasan perkebunan Rancabali, situs megalitik terbesar Asia Tenggara Gunung Padang, hingga air terjun indah dan alami di Curug Citambur. Perjalanan ke anak Sungai Citarum kali ini membuat Endah dan banyak peserta lain terkaget-kaget, tak menyangka masih ada bagian Sungai Citarum yang bersih.
”Ternyata ada juga aliran Sungai Citarum yang bersih dan tidak bau,” kata Zamzam Tanuwijaya (49), pengajar di Fakultas Teknik Geodesi ITB.
Beberapa anggota komunitas, termasuk Kenshi, bersukaria berenang di Sungai Citarum. Maklum, sehari-hari warga Kota Bandung hanya bisa melihat Citarum sebagai sungai kotor dan bau. Citarum memang dikenal salah satu sungai paling tercemar di Indonesia. Lebih dari 500 pabrik menggelontorkan limbah ke alirannya.
”Seandainya seluruh aliran Citarum bisa sebersih ini, alangkah indahnya. Andai semua orang punya kesadaran untuk menjaga sungai ini,” kata Yeni Zamzam (39), dokter yang praktik di klinik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, berandai-andai.
”Tidak hanya menikmati keindahan alam, perjalanan ke alam ini memang dimaksudkan menanamkan kesadaran menjaga alam,” kata Bachtiar. ”Kami bersenang-senang sembari menyerap ilmu bersama alam. Kadang-kadang ilmu pengetahuan lebih mudah dicerna jika disampaikan dengan sukacita.”
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR