Henry Alexie Bloem (46), pria asal Pulau Bali ini, tak pernah bercita-cita menjadi koki atau chef profesional. Namun, belakangan ini, dia justru berusaha terus-menerus membuat masakan tradisional Indonesia bisa diterima dunia dan berkolaborasi dengan masakan negara lain.
Jangan menyerah dan tetap kreatif dengan resep-resep tradisional! Itulah cara Bloem menyemangati teman-teman sesama chef sekaligus anggota Asosiasi Chef Indonesia, terutama saat mereka menjadi koki di negeri orang.
Bagi Henry Alexie Bloem, kutak-katik resep Indonesia menjadi lebih bergaya pada meja jamuan internasional adalah perjuangan. Ini sama dengan saat dia berjuang agar para koki bisa memperkenalkan masakan khas yang sebenarnya kepada para penikmat masakan.
”Rendang ya rendang, betutu ya betutu, gudeg ya gudeg. Saya selalu memberikan makanan (kepada konsumen) dengan resep aslinya. Pedas, manis, asin, itu pembawaan yang khas tradisional masing-masing daerah,” kata Bloem, pertengahan Mei lalu.
Menurut dia, masakan tradisional memiliki kekuatan pada rasanya. Soal penampilan di atas piring saji, lanjut dia, adalah persoalan kreativitas masing-masing koki.
Pria yang memiliki segudang pengalaman dan penghargaan ini berprinsip, menghargai masakan tradisional asli Indonesia adalah dengan tidak menambah atau mengurangi rasanya. Itu juga merupakan bagian bagaimana dia memberi pesan kepada para penikmat masakan tradisional, khususnya orang asing, agar menghargai Indonesia dari masakan.
”Jika kita mengurangi rasa pedas, manis, atau rempahnya hanya karena alasan (konsumennya) orang asing, saya tidak setuju. Saya menganggap koki itu tidak memperkenalkan Indonesia yang sebenarnya,” tutur dia.
Sejarah masakan
Bloem juga tidak asal belajar bumbu-bumbu asli khas masakan bangsa sendiri. Dia juga berusaha mempelajari sejarah berbagai masakan tradisional. Alasan Bloem yang juga Ketua Asosiasi Chef Indonesia ini, menikmati masakan tradisional akan lebih nikmat dan menyenangkan jika kita tahu sejarahnya.
Dia bangga jika bisa menyajikan masakan tradisional dengan tak hanya bercerita apa saja bumbunya, tetapi juga menceritakan kisah di balik masakan itu sendiri. ”Ini menjadi nilai tambahnya.”
Menurut dia, seorang koki profesional dituntut tak hanya mengerti cara memasak. Mereka pun harus paham manajemen dapur hingga persoalan bertutur dengan kru, serta bertatap muka dengan para penikmat masakan hasil olahannya.
Kelemahan chef Indonesia, kata Bloem, mereka umumnya kurang percaya diri untuk bertemu para penikmatnya. Sebagian mereka beralasan tak bisa berbahasa asing, sedangkan lainnya khawatir dikritik. Oleh karena itulah, dia berusaha mendorong teman dan para chef untuk berani bertemu para penikmat masakannya.
”Semua itu bisa dipelajari. Industri kuliner itu menjanjikan jika kita mau sungguh-sungguh belajar. Saya tak ahli berbahasa asing, tetapi punya keberanian bertemu orang dari berbagai latar belakang. Saya juga senang membaca berbagai literatur berkaitan dengan masakan,” ungkap dia.
Alhasil, Bloem dipercaya menjadi chef di dalam dan di luar negeri. Dalam dunia masak-memasak, lanjut dia, kepercayaan itu penting. ”Bagaimana kita bisa memasak untuk banyak orang jika kokinya tidak dipercaya?” ucap dia.
Belum ada standar
Henry Alexie Bloem dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menghargai dan mencintai masakan khas Bali. Berawal dari belajar dan berkuliah di Hotel and Tourism Training Centre PPLP Dhyanapura, Denpasar, pada 1989, talenta ayah empat anak ini mulai terasah.
Dia menilai pemerintah belum maksimal memperhatikan industri kuliner. Ini antara lain bisa dilihat dari belum adanya standar di berbagai hal, seperti sertifikasi dan kontrol kebersihan rumah makan.
Standar itu penting untuk masa depan kuliner di Indonesia agar tak dinilai asal-asalan. Di sini termasuk mengkritisi mudahnya makanan asing (khususnya makanan cepat saji) membuka gerai di banyak tempat di Tanah Air.
Oleh karena itulah, dia ingin masakan tradisional digarap secara profesional agar mampu bersaing di jagat kuliner dunia. ”Saya hanya bisa memberi semangat kepada teman-teman chef agar tak menunggu uluran tangan pemerintah.”
Salah satu hal yang dia lakukan adalah memberi semangat 16 chef yang tengah berada di luar negeri untuk menjadi ambasador masakan Indonesia. Sebagai ambasador, dia berharap mereka minimal bisa menyajikan satu resep masakan khas Indonesia dalam menu makanan tempatnya bekerja.
”Asosiasi yang saya pimpin ini nonprofit. Namun, saya dan para anggota ingin memberikan sesuatu bagi bangsa lewat masakan. Kami tak ingin muluk-muluk berpromosi, tetapi langsung melakukannya dengan aksi,” tutur dia.
Anggota asosiasi berjumlah sekitar 1.800 orang dan tersebar di seluruh Indonesia dan di sejumlah negara. Bloem mengupayakan anggota bisa sejahtera, antara lain dengan mendirikan semacam koperasi. Dia menyadari tak semua wilayah di Tanah Air seperti Jakarta dan Bali.
”Chef Indonesia sejati pantang menyerah. Kami pasti bisa memperkenalkan masakan tradisional Indonesia tanpa harus mengurangi rasa. Kami pasti bisa mengajak para penikmat untuk menghargai makanan kita,” kata Bloem.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR