Tidak ada yang tahu persis bagaimana kawasan lokalisasi Dolly berdiri untuk pertama kalinya. Namun, nama Dolly sudah sangat terkenal sejak lama. Bahkan sejumlah literatur menyebutkan Dolly sudah ada sejak abad 19, masa kolonial Belanda.
Dolly berada di tempat strategis di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Konon kawasan ini menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara dibandingkan Phat Pong di Bangkok-Thailand dan Geylang di Singapura. Keberadaan Dolly bahkan dinilai lebih terkenal dibandingkan Kota Surabaya.
Bukan hanya warga lokal yang datang ke Dolly, bahkan orang asing pun diketahui banyak yang penasaran dengan Dolly. Banyak wisatawan luar negeri yang menyeberang dari Bali ke Surabaya hanya untuk ke Dolly.
Ada beragam kisah terkait awal berdirinya Dolly. Antara lain yang menyebutkan bahwa nama Dolly diambil dari nama salah satu perintis usaha prostitusi—seorang perempuan keturunan Belanda bernama Dolly van de Mart. Ia membuka sebuah wisma dengan perempuan-perempuan cantik yang utamanya digunakan untuk melayani tentara Belanda ketika itu.
Karena pelayanan yang memuaskan, para tentara pun kembali ke wisma itu. Bahkan, sejumlah masyarakat pribumi juga penasaran dengan pelayanan dan keberadaan perempuan di rumah bordil tersebut. Rumah bordil itu pun menjadi ramai.
Kisah lain yang hampir serupa menyebutkan, kompleks ini awalnya merupakan pemakaman Tionghoa meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede. Kisah itu disebutkan pada buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, yang diterbitkan oleh Grafiti (1982). Awalnya, penelitian itu merupakan skripsi Tjahjo dari FIP Unair Surabaya yang kemudian dibukukan.
Pada tahun 1960-an, makam-makam tersebut dibongkar dan sebagian besar dijadikan permukiman. Sekitar tahun 1966, muncullah para pendatang yang kemudian menetap di kawasan itu. Dan tercatat pada 1967, datang seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina bernama Dolly Khavit atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tante Dolly. Ia menikah dengan pelaut Belanda dan mendirikan rumah bordil pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I.
Keberadaan rumah pelacuran itu banyak membuat orang penasaran. Bahkan, sosok Tante Dolly juga membuat banyak lelaki hidung belang datang ke tempat tersebut. Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang mendirikan usaha di sekitar wisma milik tante Dolly.
Kawasan itu kemudian dikenal dengan sebutan Gang Dolly yang juga bersebelahan dengan kawasan prostitusi Jarak. Namun, nama Dolly-lah yang lebih santer. Puluhan wisma bermunculan mulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur, hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Menurut cerita, keturunan tante Dolly juga masih ada yang tinggal di Surabaya, namun tidak lagi melanjutkan bisnis tersebut.
Selain lokasi yang strategis, cara menjajakan pelacur di tempat ini juga cukup dramatis sehingga menjadikan Dolly sangat terkenal. Para pemuas nafsu itu akan dipajang di ruangan berkaca layaknya etalase. Dengan begitu, lelaki yang datang akan bebas memilih dengan siapa ia mau ditemani.
Kisah melegenda Dolly ini sebentar lagi hanya akan menjadi cerita. Sebab Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah bertekad akan menutup lokalisasi ini pada 18 Juni 2014.
Kawasan itu akan diubah menjadi gedung enam lantai sebagai pusat ekonomi di Surabaya. Meski begitu, penolakan terus saja terjadi hingga detik-detik dilakukan pengumuman penutupan Dolly.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR