Hitler—kini dikenang sebagai penjahat kemanusiaan—adalah ahli propaganda. Dengan strategi kampanye yang rapi dan kemahiran berpidato, dia sukses mencuri hati rakyat Jerman sehingga partainya, Nazi, menangi pemilihan umum.
Awalnya Nazi (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, yang mengacu pada Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman, dibentuk 1920), hanya partai gurem dengan 3 persen suara di Pemilu Legislatif 1924.
Namun pada 1929 bursa saham Wall Street runtuh dan menghancurkan Weimar Germany. Krisis sosial melanda. Penganggur merajalela.
Di tengah depresi ekonomi, Hitler dan partainya tampil simpatik. Menurut Karthik Narayanaswami dalam Analysis of Nazi Propaganda, Hitler menjelajah seluruh negeri, menghadiri pertemuan-pertemuan rakyat, dan berpidato kepada para penganggur yang resah, petani dan buruh yang putus asa.
Dia janjikan, partainya punya solusi atas semua persoalan itu.
Pada 1930, partai kecil ini mendapat perolehan suara terbesar kedua di parlemen, dan tahun 1933 Hitler diangkat menjadi kanselir, kepala pemerintahan Jerman. Saat itu, banyak orang Jerman percaya bahwa mereka telah menemukan pemimpin kuat yang bisa menyelamatkan bangsa.
Kenyataannya, Hitler membawa Jerman ke jurang terkelam. Dia mengerahkan pasukan untuk membantai jutaan orang Yahudi dan Gipsi. Para pengikutnya membunuhi rakyat dengan anggapan ini tugas suci membela bangsa.
Demokrasi bisa memunculkan pemimpin semacam Hitler.
Hitler menyihir massa melalui propaganda. Dia mengubah persepsi pengikutnya tentang “kemalangan hidup menjadi kebahagiaaan”. Praktik kontrol pikiran makin leluasa saat berkuasa. Dia mengendalikan teater, bioskop, hingga media massa.
Meskipun teknik mengendalikan orang lain bukan hanya dipraktikkan Nazi-Jerman, kemahiran Hitler diakui sebagai salah satu yang tersukses pada era modern.
Setelah Perang Dunia II, Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Truman menggelar “Operation Paperclip”. Operasi rahasia itu bertujuan memboyong ilmuwan Nazi-Jerman ke AS demi riset kontrol pikiran.
Teknik mengontrol pikiran rakyat ini pula yang pernah diterapkan rezim Orde Baru dengan ideologi “pembangunan” versi mereka. Wacana di media massa disetir sesuai kemauan penguasa, yang menentang dibredel bahkan dibinasakan.
Akhir-akhir ini kita melihat upaya mengontrol pikiran dalam pertarungan dua calon presiden. Dari media massa hingga media sosial menjadi alat yang diperebutkan. Waspadakah pikiran kita pada propaganda? Memilah kepandiran dengan pengetahuan?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR