Kali ini perjalanan membawa saya ke Pulau Bali, meskipun bukan Kuta atau Denpasar yang umum dikunjungi oleh banyak orang, melainkan Bengkala tempat banyak orang Kolok tinggal, Kintamani dan desa Trunyan di tepi Batur, tetap saja menggoda saya untuk menyambanginya.
Desa Bengkala terlihat seperti desa pada umumnya hingga saya bertemu dengan beberapa orang Kolok dan mencoba untuk memahami apa yang ingin mereka ungkapkan melalui bahasa Kolok khas Bengkala.
Di sini pernah dilakukan penelitian tentang besarnya populasi orang Kolok dibanding tempat-tempat lain dan diduga hal ini adalah akibat dari perkawinan sedarah atau sesama orang kolok. Kolok diartikan sebagai bisu tuli menurut bahasa Bali, dan mereka sudah terbiasa dengan panggilan ini.
Terlepas dari ketidakmampuan mereka dalam hal wicara dan pendengaran, ternyata mereka mampu menampilkan sebuah karya seni khas orang Kolok, tari Janger kolok. Latihan rutin tarian ini, menjadi sarana untuk mereka saling bertemu dan bersosialisasi sesama orang kolok, dan saat mereka menampilkannya adalah cara mereka menunjukkan bahwa tidak selamanya orang yang memiliki keterbatasan itu tidak berguna.
Saya tinggal bersama satu keluarga kolok, dan merasakan sendiri bagaimana mereka bersosialisasi dengan orang normal ataupun dengan sesama kolok.
Perjalanan selanjutnya menuju ke Desa Trunyan di tepi Danau Batur. Dalam perjalanan, saya mampir ke Kintamani tempat peternakan anjing ras Kintamani yang diduga pernah menjadi sumber penyakit rabies. Desa Trunyan terkenal dengan cara pemakaman mereka yang khas, Sema Wayah dan Sema Muda.
Adalah sebuah pohon Taru Menyan yang menjadi pusat dari ritual pemakaman ini. Di Desa Trunyan, mayat hanya diletakkan begitu saja diatas tanah tanpa ditimbun tanah sedikit pun. Jumlah mayat yang bisa diletakkan, siapa yang layak diletakkan serta benda-benda apa yang diikutkan bersama sama mayat, adalah hal yang menarik untuk diketahui. Meski sebagai dokter, saya masih bertanya tanya mengapa mayat ini tidak berbau meskipun telah berhari hari diletakkan tanpa dikubur walau proses pembusukan tetap berjalan.
Apapun itu, perjalanan ini tetap menjadi pengetahuan baru bagi saya, bahwa selain Ngaben, Bali masih mempunyai ritual terkait kematian yang masih kental dengan tradisi.
Perjalanan ini pun ditutup dengan indahnya Danau Batur yang berada persis ditepi Desa Trunyan, dan ombak di danau ini mengirim saya pulang dengan ilmu serta pengetahuan baru yang saya dapat kan seluruh perjalanan.
_______________________________
Melalui program dokumenter, "Doctors Go Wild", Kompas TV mengajak dua dokter untuk mengeksplorasi berbagai tempat di pelosok Nusantara, melihat dan mempelajari berbagai tata cara serta keunikan pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat setempat.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR