Dari debat antara dua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Sabtu (5/7), masalah lingkungan belum dielaborasi sehingga belum jelas keterkaitannya dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Presiden terpilih nanti diharapkan menerapkan program lingkungan yang membumi sekaligus menyelesaikan berbagai kasus lingkungan.
Direktur Eksekutif Pusat Perubahan Iklim Indonesia Farhan Hemi dan Sekretaris Partai Hijau John Muhammad, akhir pekan lalu, di Jakarta, menegaskan, kedua pasangan capres-cawapres sudah menyentuh isu lingkungan, tetapi tidak dielaborasi untuk menjelaskan strateginya.
Meski calon wapres Hatta Rajasa menyebut pembangunan berkelanjutan adalah keharusan, tetapi tak ada elaborasi jelas, bahkan kontradiksi dengan janji meningkatkan eksploitasi migas. "Ekonomi rendah karbon hanya dilihat dari desakan pertumbuhan penduduk, belum menyoroti eksploitasi sumber daya alam Indonesia besar-besaran yang merusak alam Indonesia," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Hindun Mulaika.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya menambahkan, isu lain yang juga belum tersentuh adalah masalah kehutanan dengan lahan gambut yang merupakan sumber emisi karbon terbesar dan tak jelas upaya pencegahan kebakaran hutan. Isu perubahan iklim juga tak disinggung padahal Indonesia punya komitmen global menurunkan emisi karbon 26 persen dengan kekuatan sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution menambahkan, urgensi pencemaran laut dan pengelolaan sumber daya ikan juga belum tersentuh.
Selain itu, kedua pasangan menyebutkan gagasan dan visi untuk bauran energi, seperti cetak biru energi yang sudah ada, tetapi belum jelas strategi dan implementasinya. "Setidaknya mereka tahu, bauran energi kita rendah dan kita punya potensi energi baru terbarukan untuk meningkatkannya," ungkap Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arifianto.
Program yang membumi
Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid, Minggu (6/7), di Jakarta, menilai, program capres Joko Widodo dan cawapres Jusuf Kalla bidang energi, pangan, dan lingkungan lebih membumi dan mudah diterapkan. Di sisi lain perlu ada solusi untuk mengatasi kasus lingkungan yang kompleks dan terkait ekonomi-politik.
"Programnya amat membumi, membawa kedaulatan energi dan pangan serta lingkungan pada tingkat masyarakat. Ini menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan ekologis di tingkat masyarakat," katanya menambahkan.
Selama ini, negara memercayakan hal itu pada korporasi dan terbukti gagal dengan munculnya berbagai bencana ekologis dan kemiskinan masyarakat.
Dalam debat capres, pasangan Jokowi-Kalla dinilai telah menunjukkan contoh penyelesaian konkret ketiga isu permasalahan melalui desa mandiri, dengan menyebut sapi-sapi subsidi atau bantuan pemerintah pada desa dikelompokkan dalam satu kandang. Lalu, kotoran sapi bisa diolah untuk menghasilkan biogas sebagai sumber energi bagi petani. Hal itu menekan emisi gas rumah kaca sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Secara terpisah, Ridha Saleh, mantan Komisioner Komnas HAM yang juga aktivis lingkungan, menyambut baik istilah "bencana ekologis" yang dilontarkan Jokowi untuk menyebut berbagai kasus kerusakan lingkungan. Hal itu menunjukkan kedekatan komitmen Jokowi terhadap penyelesaian ekologis. Kasus kerusakan lingkungan juga menyangkut hak asasi manusia untuk mendapat lingkungan hidup yang layak.
Dalam debat capres, pasangan Prabowo-Hatta berpendapat, kerusakan lingkungan dipicu ledakan penduduk sehingga daya dukung lingkungan terlampaui. "Tiap tahun ada 5 juta warga baru. Lima juta mulut harus diberi makan."
Pertambahan penduduk itu butuh ruang baru yang berdampak pada pengurangan areal hutan. Untuk itu, ia memilih strategi banyak jalur, antara lain terkait pendidikan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR