Pria pendiam itu baru-baru ini dikenal masyarakat oleh karena gugatannya ke Mahkamah Konstitusi merevisi kebijakan agar memperbolehkan suntik mati di Indonesia.
Ignatius Ryan Tumiwa (48), warga Jakarta Barat, mengajukan permohonan uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 terhadap Undang-undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut, yang berbunyi “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, dianggap menghalangi niatnya untuk menyuntik mati diri sendiri.
Seperti dilansir Warta Kota, Senin (4/8), Ryan Tumiwa hidup sebatang kara dan tanpa pekerjaan. Sejak ditinggal ayahnya yang bernama Thu Indra (88) pada 2012, ia merasa depresi berat. Ia mulanya pergi ke Komnas HAM, bertanya soal pemberian tunjangan negara.
Lantaran itu tak ditanggapi, kemudian terlintas ide untuk ke Departemen Kesehatan minta disuntik mati, terganjal karena di Indonesia tak ada hukum yang mengatur. Saat ini, dirinya lebih memperjuangkan suntik mati bukan lagi tunjangan bagi penganggur.
Eutanasia secara etimologis berasal dari bahasa Yunani euthanatos, eu yang artinya "baik", dan thanatos yang berarti "kematian".
Eutanasia yang seringkali disebut mercy killing adalah pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau rasa sakit minimal—memberikan kematian tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan—biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Euthanasia sampai saat ini masih dipandang tidak sesuai etika yang dianut bangsa, sehingga Indonesia tidak melegalkannya: Eutanasia melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Pro dan kontra
Di Indonesia, kasus eutanasia pernah mencuat pada pengujung 2004, saat Hasan Kesuma, suami dari Agian Isna Nauli, mengajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengakhiri penderitaan istrinya. Namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan.
Hasan mengajukan upaya permohonan eutanasia karena "tidak tega menyaksikan Agian yang telah tergolek koma selama dua bulan", di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Kasus ini salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien.
Menanggapi permasalah eutanasia ini, pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, dalam sebuah artikel yang dilansir laman hukumonline.com, tindakan eutanasia harus memenuhi parameter medis yang diatur dengan tegas, bukan karena alasan sosial-ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan eutanasia tidak sewenang-wenang.
Tetapi sementara dalam kasus lain pada tahun 2005, seorang pasien bernama Siti Julaeha kemungkinan adalah korban malpraktik. Kondisi Siti Julaeha yang tak sadarkan diri sejak usai menjalani operasi kandungan di rumah sakit di Jakarta Timur, diduga akibat malpraktik. Rudi Hartono, sang suami, bersama keluarga besar Siti Julaeha, telah meminta pihak Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan dalam pengajuan permohonan eutanasia. "Keputusan ini benar-benar jalan yang terbaik untuk semua," katanya kepada TEMPO.co, waktu itu.
Praktik eutanasia di berbagai negara
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma (budaya) ataupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis.
Di beberapa negara, eutanasia dapat diterima, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.
Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur nan ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Sejauh ini eutanasia diperkenankan di sejumlah negara Eropa seperti Belanda, Belgia, Luxemburg, serta ditoleransi di Oregon (negara bagian di Amerika Serikat), Kolombia dan Swiss.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR