Pesawat berpropeler Dakota DC-3 dengan kode registrasi PK-REA meluncur di landas pacu Pangkalan Udara Andir, Bandung. Penerbangan pesawat milik Koninklijke Luchtvaart Maatschappij itu bertujuan ke Kemayoran, Batavia. Pesawat mengangkasa di langit sore Bandung, 10 Februari 1948.
Dakota mengangkut empat awak dan 15 penumpang. Tiga penumpang dari mereka merupakan pemusik semiklasik asal Belanda yang usai berpentas di Bandung. Pianis Elisabeth Everts (28 tahun), pemain cello Johan Gutlich (36 tahun), dan violis Rudi Broer Van Dijk (22 tahun).
Para pemusik itu berada di Indonesia selama empat bulan, sejak Oktober 1947, dalam misi pentas untuk menghibur para serdadu KNIL. Sebuah organisasi di Belanda yang berkomitmen memberikan kesejahteraan kepada serdadu—NIWIN (Nationale Inspanning Welzijnsverzorging Indië)—telah memberi dukungan kepada para pemusik itu untuk berpentas di Bandung.
Pesawat sial. Belum sampai setengah jam mengudara, Dakota jatuh di dekat Padalarang, kawasan antara Cilame dan Sasaksaat, sekitar 24 kilometer arah barat laut dari Bandung. Semua awak dan penumpangnya tewas.
Saat itu cuaca dirundung hujan. Hemli, seorang warga setempat yang bertugas sebagai pengatur sinyal jalur kereta api Bandung-Batavia mengatakan bahwa dia melihat pesawat terbang rendah. Bagian kokpitnya terbakar dan jatuh.
Rencananya dua hari kemudian rombongan pemusik itu berangkat terbang untuk pulang ke kampung halamannya dari Kemayoran ke Schiphol, Amsterdam. Namun, suratan tragis menyatakan bahwa dua hari kemudian mereka dimakamkan di Parkweg, Bandung, 12 Februari 1948. Baru dua tahun kemudian, 21 Maret 1950, jasad mereka dimakamkan kembali di Ereveld Pandu. Permakaman tersebut diresmikan pada Maret 1948 sebagai taman makam kehormatan, yang hingga hari ini dikelola oleh lembaga permakaman perang dari Belanda.
Di Ereveld Pandu pula nama ketiga pemusik itu diabadikan dalam Monumen Padalarang, bersama dua penumpang lainnya—seorang eluctionist Francina Gerrese dan seorang sersan KNIL Leendert Paay. Nama dan tempat tanggal lahir masing-masing tertera dalam lima pilar bulat yang berjajar menopang seruas palang mendatar.
Tampaknya hanya kelima nama itu yang dimakamkan di Bandung. Selebihnya dimakamkan di Cililitan—permakaman ML-KNIL—yang kelak dikebumikan kembali di Ereveld Menteng Pulo, Jakarta.
Di depan monumen pilar itu terdapat sebuah monumen berbentuk buku yang menerakan kalimat ”Ter nagedachtenis aan de leden van een gezelschap die ter ontspanning van de troepen te velde voor – stellingen verzorgden. Zij kwamen op 10 februari 1948 te Padalarang met anderen bij een vliegongeval om het leven in een toestel van de Militaire Luchvaart van het KNIL.”
Kalimat itu bermakna: "Untuk mengenang anggota perkumpulan yang menghibur pasukan—sebuah ungkapan kepedulian. Mereka tiba di Padalarang pada 10 Februari 1948 dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang bersama unit Angkatan Udara KNIL".
Penyebab jatuhnya pesawat Dakota di dekat Padalarang tak pernah terungkap—setidaknya hingga hari ini. Cukup aneh, lantaran ML-KNIL di Batavia melaporkan Dakota DC-3 bernomor seri DT-947 itu terpelihara dengan baik dan juga tidak pernah ada keluhan sebelumnya.
Penyelidikan terkatung-katung. Usai penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, demikian menurut laporan akhir dari komite penyelidik, banyak bukti tertulis yang telah dihancurkan dan alasan lain yang menyulitkan tim untuk mengungkap.
Kendati penyebab kemalangan masih belum terungkap, nama Elisabeth Everts tetap dikenang di Belanda sebagai bentuk penghargaan dua tahunan berupa dana untuk pemusik muda sejak 1949. Ide tersebut datang dari seorang violis yang merupakan ibu dari Elisabeth Everts. Pada peringatan 22 tahun wafatnya Lizzie, demikian panggilan kesayanganya Elisabeth, Sang Ibu mendirikan Stichting Elisabeth Everts Fonds, sebuah yayasan untuk mengenang putrinya.
“Ada dugaan pesawat kena sabotase,” ungkap Olivier Johannes Raap, warga Delft yang gemar menyelisik sejarah dan budaya Indonesia. Serial bukunya tentang koleksi kartu pos zaman Hindia Belanda-nya telah terbit di Indonesia. Menurutnya, kebetulan salah satu penumpang pesawat itu merupakan seorang petugas penyelidik kasus korupsi. Si petugas membawa sebuah tas berisi dokumen penting yang akan diserahkan kepada petinggi militer ML-KNIL di Batavia.
Akhirnya, tim penyelamat menemukan tas berisi dokumen tersebut di lokasi kejadian untuk dibawa ke Batavia, demikian menurut Olivier. Pada waktu itu kasus korupsi telah membelit tubuh militer Belanda. Tampaknya petugas penyelidik yang malang itu tengah menyingkap kasus korupsi beberapa opsir Belanda. Mereka menyelundupkan barang dan bekerja sama dengan mafia Tionghoa. Penyelundupan itu menggunakan pesawat militer Belanda secara illegal. “Namun, tas sampai tujuan dalam keadaan kosong,” ungkap Olivier. “Dokumen-dokumen tadi hilang.”
Bagi orang Indonesia, peristiwa petaka Dakota DC-3 di Padalarang tampaknya tertutup oleh kesibukan usai perundingan Renville pada Januari 1948. Negeri yang baru belum genap tiga tahun itu tengah menarik dan merelokasi besar-besaran para prajuritnya dari pedalaman Jawa sebagai konsekuensi perundingan.
Penyebab petaka penerbangan itu masih gelap. Bahkan, peristiwa itu telah terhapus dalam ingatan sejarah kita. Namun, andaikata dugaan sabotase itu benar, tampaknya negeri ini telah menjadi ajang bancakan para koruptor sejak lama.
Satu hal yang tidak berubah, dan perlu diwaspadai, koruptor selalu mencari jalan apapun untuk melumpuhkan petugas pemberantasan korupsi. Seorang demonstran muda, Soe Hok Gie pernah berkata, "Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktaktor yang tanpa uang mau memberantas korupsi.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR