Kerangka manusia prasejarah kembali ditemukan di Desa Binangun, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, akhir pekan lalu. Penemuan itu menguatkan dugaan bahwa pantai utara Jawa merupakan salah satu tujuan migrasi penutur Austronesia pada periode 500 sebelum Masehi atau sekitar 2.500 tahun lalu.
Penemuan kerangka itu dilaporkan warga setempat, Sabtu (16/8), kepada Kepolisian Sektor Lasem. Sehari kemudian, Polres Lasem menghubungi Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta.
Kerangka hanya tersisa bagian pinggul ke atas, sedangkan bagian pinggul ke bawah sudah hanyut ke laut. Sementara itu bagian rahang terpisah dari tengkorak, begitu pula gigi-giginya.
”Senin pagi, kami berkoordinasi dengan Kepala Balar Yogyakarta untuk menyelamatkan kerangka itu,” kata peneliti Balar Yogyakarta, Gunadi Kasnowiharjo, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/8). Kerangka harus segera diselamatkan karena berada di pinggir pantai yang rawan abrasi.
Satu periode
Gunadi menduga kerangka itu merupakan manusia prasejarah penutur Austronesia yang datang ke daerah pantai utara (pantura) pada masa akhir migrasi Austronesia sekitar 500 tahun sebelum Masehi atau sekitar 2.500 tahun lalu. ”Kami perkirakan individu ini selevel dengan kerangka-kerangka lain yang sebelumnya ditemukan di kawasan itu,” ujar Gunadi.
Tahun 2012, Balar Yogyakarta mengekskavasi kerangka satu individu penutur Austronesia di Binangun. Di Desa Leran, Sluke, Rembang, ditemukan pula 17 individu dan sebulan lalu ditemukan 2 individu penutur Austronesia di Tanjungan, Rembang.
Kondisi beberapa situs penemuan jejak-jejak Austronesia memprihatinkan karena terancam abrasi dan pembangunan. Pemahaman masyarakat tentang kepentingan penelitian juga kurang. Kerangka individu pertama yang ditemukan di Binangun sebenarnya utuh. Kotak ekskavasi dan kerangka di dalamnya hanya ditutup kaca agar bisa menjadi tempat pembelajaran tentang Austronesia. Namun, sebelum gazebo dan papan informasi dipasang, oknum masyarakat merusak kaca lalu mengubur kembali kerangka itu dengan diberi nisan dan ditaburi bunga.
Kepala Balar Yogyakarta Siswanto menambahkan, akibat minimnya pemahaman tentang sejarah dan arkeologi, sebagian masyarakat beranggapan situs-situs di pantura sebagai kuburan masa lalu.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR