Bayangkan jika Anda menderita luka parah dan berada di tempat terpencil yang tak lengkap tenaga medisnya. Apa yang harus dilakukan? Para dokter di negara-negara miskin sudah menemukan jawabannya: terapi belatung pengganti antibiotik.
Kenya adalah salah satu negara miskin yang tidak memiliki teknologi medis canggih. Oleh karena keterbatasan biaya, pada dokter menggunakan metode terapi belatung untuk menyembuhkan luka. Penggunaan belatung dalam penanganan medis ternyata mampu membersihkan luka.
Bagi sebagian besar orang awam di Kenya, perawatan medis yang memadai sangat tidak terjangkau. Oleh karenanya teknik pengobatan alternatif dengan menggunakan belatung ini diadopsi oleh sejumlah rumah sakit.
Dr. Christopher Kibiwot, anggota tim peneliti Kenyatta National Hospital, mengatakan bahwa terapi ini sangat efektif. Pasien yang biasanya harus dirawat hingga tiga bulan kini bisa pulang dalam waktu dua atau tiga minggu saja setelah menjalani terapi belatung.
Bagaimana terapi belatung pengganti antibiotik ini dapat menyembuhkan luka? Dr. Kiwibot menjelaskan bahwa pada dasarnya belatung memakan jaringan mati atau jaringan nekrotik. Jadi belatung tersebut bersaing dengan bakteri dan membuat para bakteri tidak bisa berkembang. Oleh karenanya pasien tidak membutuhkan antibiotik.
Setelah menuai kesuksesan, kini para peneliti memproduksi belatung dengan mengumpulkan lalat botol hijau. Mereka mengumpulkan lalat ini di Kenya Agricultural Research Institute (KARI). Spesies yang digunakan harus lalat botol hijau karena belatung yang mereka hasilkan hanya memakan jaringan kulit mati.
Phoebe Mukiria, ahli serangga pengawas produksi belatung, mengatakan bahwa para belatung ini akan membersihkan luka dan sama sekali tak merusak jaringan daging yang sehat. Jadi pasien sama sekali tidak akan merasa sakit selama ‘disterilkan’ oleh belatung.
Beranikah Anda mencoba terapi belatung pengganti antibiotik ini untuk sembuhkan luka?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR