Selama 25 tahun terakhir, Paul Rozin, seorang profesor dari University of Pennsylvania melakukan riset terhadap pilihan makanan manusia yang ditilik dari sisi biologi, psikologi, dan antropologi. Menurutnya, kini kenikmatan sekaligus kekhawatiran terbesar harus dialamatkan pada apa yang kita makan.
Hal ini terkait dengan penggunaan pestisida yang digunakan pada kebanyakan tanaman yang akan dikonsumsi manusia. Ahmad Sulaeman, Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor menemukan fakta di lapangan bahwa penggunaan pestisida di kalangan petani seolah menjadi wajib, bahkan baik ada hama maupun tidak. "Ini disebabkan karena para petani takut menghadapi risiko gagal panen," ujarnya.
Ahmad memaparkan, bahwa tanaman sayuran seperti sawi hijau atau caysim, mentimun, dan katuk, tak lepas dari penyemprotan pestisida dalam frekuensi yang sangat intens. Contoh lainnya, penyemprotan pestisida pada tanaman stroberi yang sedang berbuah bisa jadi dilakukan setiap lima hari sekali.
Untuk buah lengkeng misalnya, penyemprotan dilakukan mulai dari pembungaan hinga buah siap dipanen. Sementara anggur disemprot oleh lebih dari lima jenis pestisida. Tak berhenti hingga di situ, “pada proses pascapanen, buah diberi lilin agar awet, dan agar tidak berjamur, diberi fungisida,” ungkap Ahmad. Hal ini akan menjamin kesegaran buah yang tahan hingga tahunan.
Guru besar ini juga menuturkan, bahwa menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Indonesia mulai dari 1998 hingga 2004, hampir semua jenis sayuran lokal yang diuji mengandung residu pestisida, bahkan beberapa di antaranya mengandung lebih dari satu jenis serta melebihi ambang batas.
Bagaimana agar kita terhindar dari sayur dan buah yang berbahan kimia ini? Salah satu solusinya adalah memastikan bahwa makanan diproses secara organik, bebas dari pestisida dan pupuk kimia dalam penanamannya. Namun benarkah pangan organik mahal? Baca penelusurannya dalam Kontradiksi Pangan Organik.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR