Di sebuah taman permakaman kecil di Hanoi, Vietnam, Nguyen Van Thao membuka lemari pendingin dan mengambil sebuah kantong berisi janin-janin berdarah yang disiapkan untuk penguburan.
Inilah negara dengan salah satu angka aborsi tertinggi di dunia.
Sekitar 40 persen kehamilan di Vietnam berakhir dengan aborsi, menurut sebuah laporan para dokter dari Rumah Sakit Kebidanan Pusat di Hanoi. Angka ini dua kali angka yang diberikan statistik resmi.
Ada 83 aborsi per 1.000 perempuan usia subur di Vietnam, dibandingkan antara 10 dan 23 aborsi per 1.000 perempuan di banyak negara Eropa Barat dan AS, menurut kelompok nirlaba kesehatan seksual Alan Guttmacher Institute.
"Pada hari-hari tersibuk, kami menerima 30 janin," kata Thao, yang selama sekitar sepuluh tahun telah memimpin tim relawan yang sebagian besar Katolik dalam mengumpulkan janin, yang biasanya dibuang sebagai limbah medis, dari klinik-klinik aborsi di seluruh ibu kota Vietnam itu.
"Sulit menghitung berapa banyak yang telah kami kuburkan," kata relawan Nguyen Thi Quy (62), yang membantu Thao mengafani janin-janin itu sebelum memberi mereka penguburan layak di permakaman di Distrik Soc Son, Hanoi, itu.
Selama puluhan tahun, Vietnam yang komunis memberlakukan kebijakan dua anak, dengan memakai campuran hukuman administratif dan keluarga berencana yang disubsidi untuk membatasi pertumbuhan penduduk. Program itu sudah dihapus, tetapi efeknya masih tertinggal.
Aborsi tidak pernah tabu secara sosial dan angka resmi sekitar 500.000 per 2,4 juta kehamilan—sekitar satu berbanding lima—hanya menghitung prosedur yang dilakukan di klinik-klinik pemerintah.
Tak dibekali
"Anak-anak muda yang aktif secara seksual memiliki masalah—sistem kesehatan masyarakat tidak mengurusi mereka," kata perwakilan badan dunia kependudukan UNFPA, Arthur Erken, di Hanoi.
Perilaku seksual di kalangan kaum muda Vietnam telah berubah secara radikal dalam beberapa dekade terakhir. Mereka berhubungan seks lebih dulu dan menikah kemudian, tetapi layanan keluarga berencana pemerintah yang kuno tidak banyak memberi petunjuk atau kontrasepsi yang sesuai dengan pasangan muda yang belum menikah.
Anak-anak muda yang aktif secara seksual punya masalah—sistem kesehatan masyarakat tidak mengurusi mereka.
Akibatnya, mereka memperkirakan aborsi (yang diperbolehkan sampai usia 22 minggu dan banyak tersedia, terutama di klinik-klinik swasta), digunakan untuk mencegah kehamilan yang tak diinginkan, lebih kerap dibandingkan di negara-negara lain.
"Tidak ada pengecekan sistematis pada klinik-klinik swasta. Bisa ada setengah juta lagi aborsi (yaang tak terhitung resmi)," kata Erken.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR