“Sejarah kerap berulang,” ujar Maya Tamara yang bersyal kuning dan bersepatu warna senada. “Menariknya, Batavia atau Jakarta sekarang masih bergerak dan bergejolak.” Gejolak atau gelombang persoalan akan selalu hadir dalam kehidupan, namun “kita bisa memiliki semangat karena gejolak ini.”
Maya Tamara merupakan Artistic Director Namarina Youth Dance. Namarina sendiri merupakan institusi pendidikan tari, khususnya ballet dan jazz, yang bermula pada 1956 di sebuah rumah di Menteng, Jakarta Pusat.
Pada 29 dan 30 November 2014, mereka menggelar pentas balet yang kesembilan yang bertajuk “Batavia Hotel”. Para pemeran untuk pegelaran ini merupakan penari-penari kelas utama yang telah melewati audisi.
Pentas balet tersebut diadaptasi dari tema atau cerita di balik karya visual Melissa Sunjaya, seorang perancang grafis. Pagelaran balet ini menautkan simbol-simbol gerakan, pemilihan musik, dan dikemas dalam suasana hotel dengan dekorasi art-deco dan art-nouveau yang populer sekitar 1930-an.
Depresi Besar yang melanda ekonomi Amerika dan dunia telah mengilhami karya para seniman hingga ekonom besar. Berbagai temuan ilmu pengetahuan dan seni itulah yang membuat dekade 1930-an menjadi bagian sejarah yang unik, demikian ungkap Maya.
Maya mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers di Gedung Kesenian, bersama dua koreografer, Dinar Karina dan Sussi Anddri, juga Muhammad Zulfadly dari butik Tulisan yang mewakili penulis Melissa Sunjaya.
Tokoh utama dalam kisah tersebut adalah "Aku" (yang diperankan oleh Felicia Harenya Suniastari/Truly Rizki Ananda) dan "Harlequin" (yang diperankan oleh Enrico Tanod). Aku dan Harlequin tumbuh bersama dari sebuah panti asuhan di Batavia. Namun, kelak mereka memiliki jalan hidup yang berbeda.
Harlequin, dalam pentas balet ini, sejak di panti asuhan dia sudah mempunyai keinginan menjadi bagian dari kalangan warga kota yang menghabiskan waktunya di Hotel Batavia. Pada saat itu, Hotel Batavia terkenal dengan reputasinya sebagai hotel bergengsi tempat bergaul kalangan papan atas.
Pada akhirnya, keinginan Harlequin terkabul. Dia bekerja sebagai bell boy dan mampu berbaur dengan kehidupan papan atas di hotel tersebut—dengan segala keglamorannya sebagi seorang petualang cinta.
Sementara itu tokoh Aku menjadi pekerja seni yang penuh idealisme. Dalam adaptasi untuk pementasan ini Aku diinterpretasikan sebagai penari, sedikit berbeda dengan sinopsis aslinya yang sebetulnya pemain akrobat. Dia bertanya-tanya tentang Harlequin yang telah berubah jauh.
!break!Di Hotel Batavia, Harlequin bertemu dengan Colombine, seorang perempuan asal Belanda yang berstatus janda cantik dan kaya. Sementara, Aku kian bersedih lantaran sekadar bisa menyaksikan kisah cinta mereka.
Dalam konferensi pers tersebut, Zulfadly menambahkan bahwa tokoh seperti Harlequin tidak sepenuhnya buruk, sementara tokoh Aku juga tidak sepenuhnya baik. “Tidak mungkin kita tidak memiliki sifat Harlequin di dalam diri kita. Sementara Si Aku yang terlalu idealis memiliki topeng bahagia, namun sejatinya dia bersedih.”
“Intisarinya,” ujar Zulfadly, “cermin masyarakat Indonesia sekarang adalah seperti itu: Masyarakat modern yang belum siap untuk menjadi masyarakat modern.” Kemudian dia memberikan contoh, “Kita bisa membangun gedung bertingkat seratus, namun apakah bisa kita mengantre di lift?”
Maya memberikan kata penutup, “Di Namarina kita tidak belajar balet saja, tetapi kita juga memberikan pengertian tentang kerja keras dan komitmen kita terhadap bidang yang kita cintai.” Kemudian dia melanjutkan bahwa pementasan balet ini merupakan karya yang “Original, benar-benar dari nothing menjadi something!”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR