Hujan baru saja reda di Waitabar, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. L. D. Ringgolango meriung bersama tetamu di teras uma kabaleka. Selembar tikar dibentangkan; sirih dan pinang disajikan.
“Begitulah adat kami menyambut tamu. Pertama, tikar dibentangkan, lalu disajikan sirih dan pinang,” tutur Ringgolango, tokoh adat Waitabar.
Di depan uma kabaleka terdapat berbagai batu kubur. Di situlah bersemayam dengan tenang arwah para leluhur. “Berbeda dengan daerah lain yang ada pemakaman umum, kami mengubur leluhur tidak jauh dari rumah,” jelasnya. “Itu sebagai tanda kasih kepada leluhur.”
Waitabar tak jauh dari Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat—tak sampai setengah jam. Kampung ini berdampingan dengan kampung Tarung. Keduanya kompleks rumah adat Sumba yang terletak di punggung bukit.
Syahdan, dahulu kala sering terjadi perang adat sehingga kampung didirikan di atas bukit untuk keamanan. Adanya perang adat terbukti dari adung: tonggak kayu di tengah kampung dengan bebatuan tertata melingkar. “Ini dulu tempat menaruh kepala musuh,” jelas seorang pemuda Waitabar.
Rumah-rumah warga Waitabar berderet mengelilingi kompleks batu kubur. Bentuk rumah adat Waitabar seperti joglo, dengan atap tengah yang menjulang tinggi seperti menara. Atapnya dari ilalang.
Dengan begitu, ada tiga tingkat. “Tingkat pertama untuk memelihara ternak; tingkat dua untuk rumah; tingkat tiga untuk menyimpan barang-barang keramat dan beras,” Ringgolango menuturkan.
Di puncak menara terpasang sepasang kayu sebagai simbol ayah dan ibu. Di dalam atap menara itu tersimpan benda-benda keramat yang tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. Tepat di bawahnya, terdapat tungku untuk memasak para ibu. “Jadi rumah ini sekaligus dapur.”
Setiap rumah warga Waitabar diberi nama masing-masing sesuai status sosial penghuninya. Di samping kanan uma kabaleka misalnya, terdapat uma marapu manu.
Kendati bisa berjalan di jalan setapak yang melingkar di dalam kampung, Ringgolango mengingatkan untuk tidak masuk ke areal yang keramat. Areal ini terdiri beberapa batu kubur yang dikeramatkan dengan rumah kecil. “Saya sendiri hanya bisa setahun sekali,” tegasnya.
Sore itu, warga Waitabar bercengkerama di teras-teras rumah adat. Ramah-ramah. Anak-anak bermain di kompleks batu kubur. Menjelajahi kampung ini seperti menemukan masa silam dan masa kini.
Penulis | : | |
Editor | : | Prana Prayudha |
KOMENTAR