Konsumsi gula dan garam berlebihan dalam jangka panjang memang berbahaya bagi kesehatan, tetapi bukan berarti gula dan garam harus dihilangkan dari pola makan sehari-hari.
Menurut Emilia Achmadi, ahli gizi, penyakit-penyakit kronik timbul akibat pola makan yang berlebihan, bukan karena bahan makanan itu sendiri.
"Informasi kurang tepat memang bisa membuat orang menghindari satu jenis atau satu kelompok makanan, padahal tidak perlu," katanya dalam acara Jakarta Food Editor\'s Club yang diadakan oleh PT Unilever Indonesia di Jakarta (4/11).
Gula dan garam memiliki sisi positif dan negatif bagi tubuh. Di satu sisi gula dan garam diperlukan, tapi di sisi lain akan memberikan efek yang buruk bila dikonsumsi berlebihan. Karena itu, menurut Emilia yang terpenting adalah mengendalikan diri agar tidak makan berlebihan.
"Pola pikir kita yang harus diubah. Batasi asupan gula dan garam, bukan menghindarinya sama sekali. Bagaimana pun kita harus makan makanan yang bervariasi," tegasnya.
Di Indonesia, makanan dan minuman yang mengandung gula dan garam tinggi masih banyak dikonsumsi masyarakat. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2011, konsumsi gula masyarakat mencapai 1,416 kg/kapita/minggu, dan konsumsi garam sebesar 311 gram/kapita/minggu.
Padahal, batas konsumsi gula perhari yang direkomendasikan adalah 3-6 sendok makan atau sekitar 25-50 gram perhari. Sedangkan batas konsumsi garam sehari adalah 5 gram atau 2000 mg natrium.
"Sudah saatnya kita mengontrol apa yang kita makan. Selama ini kebanyakan orang kalau makan hanya memikirkan rasa atau seleranya saja. Kini saatnya kita memikirkan apa yang dibutuhkan tubuh," kata Emilia.
Salah satu cara untuk membatasi asupan gula dan garam adalah dengan mulai memperhatikan label gizi dalam makanan kemasan. Selain itu, sebaiknya jangan menyimpan garam ekstra di meja makan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR