Bicara soal kurikulum, sebenarnya ada banyak "kurikulum" yang dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu inisiatif pemerintah. Misalnya soal isu-isu lingkungan hidup. Ansel (17), tidak mau membeli air minum kemasan jika tidak terpaksa. Ia selalu membawa botol air minum di rumah. Bukan karena ajaran orangtuanya, tetapi karena selama SMP anak-anak di sekolahnya akan dihukum bila berbekal air minum kemasan.
Bahwa kepedulian pada lingkungan tidak tinggal di khasanah "mata pelajaran" dan "wacana", saya alami benar di Seattle, ibukota Negara Bagian Washington, AS, setiap kali saya berkunjung ke tempat ini. Pertama kali, saat saya "kesal" terhadap pohon-pohon pinus besar di pekarangan rumahnya. Selain membuat udara lebih dingin (apalagi bagi orang-orang tropis seperti saya), pohon-pohon itu sering "menghujani" pekarangan dengan daun-daunnya yang berbentuk jarum setiap kali angin kencang bertiup. Cukup lelah menyapu, apalagi bila keadaan tanah basah, saat banyak turun hujan. Harap maklum, Seattle yang memiliki tiga danau besar ini selalu lembab, sering mendung, sehingga terkenal sebagai kota hujan, seperti Bogor.
Rumah kakak saya ada di kota bernama Lake Forest Park, salah satu daerah permukiman di pinggiran Seattle, di tepi Danau Washington. Kalau berkendara memasuki daerah ini, kita akan merasakan benar bahwa kita memasuki kawasan hutan. Kiri-kanan jalanannya dinaungi pepohonan besar, sebagian besar pinus, yang tingginya sekitar 20 meteran. Rumah-rumah penduduk dibangun di sela-sela pepohonan itu.
Hukum terkait masalah pohon disebut arboriculture law. Yang diatur di sini termasuk perusak atau menebang habis pohon dan masalah pohon yang dahannya memasuki wilayah pekarangan tetangga. Masing-masing negara bagian di AS memiliki arboriculture law yang berbeda-beda. Sembarangan merusak atau menebang pohon, bisa diperkarakan telah melakukan tindak kriminalitas. Kebetulan, pohon-pohon pinus di pekarangan rumah kakak saya termasuk pohon yang dilindungi oleh pemerintah. So that\'s it. Saya pun berhenti komplain.
Di Negara Bagian Washington, kegiatan membuang sampah menuntut sedikit kecerdasan. Kita harus mengategorikan apakah sampah yang akan dibuang termasuk: garbage (sampah rumah tangga), recycle (sampah yang dapat didaur ulang), atau yard waste (sampah kebun). Sampah rumah tangga dan sampah kebun tak masalah. Yang agak membingungkan adalah menentukan mana benda yang dapat didaur ulang dan mana yang tidak. Kardus kemasan, kertas dan amplop surat-menyurat, botol dari kaca, botol air minum kemasan termasuk kategori ini.
Jadi membuang botol air minum kemasan yang benar adalah begini: buka tutupnya, buang tutup tersebut beserta sisa isinya ke keranjang garbage. Remas botolnya sehingga menjadi kecil. Baru buang ke keranjang recycle. Semua wadah dibuang ke keranjang recycle dalam keadaan bersih. Itu dikerjakan oleh pemilik rumah, juga dipraktikkan di sekolah-sekolah. Kesadaran tersebut terbangun begitu saja, karena semua melakukannya.
Kakak saya membayar biaya manajemen sampah sekitar USD 60 per bulan. Sampah diambil setiap hari Jumat pukul 7.00 menggunakan truk sampah yang besar, bersih, dan berteknologi tinggi. Sampah daur ulang diambil dua minggu sekali, bergantian dengan sampah kebun. Sampah rumah tangga setiap minggu. Wadah sampah harus diletakkan di tepi jalan.
Seattle mencanangkan target pada 2015 60% sampah padatnya dapat didaur ulang (reuse, recycle,dan composting). Bukan target yang terlalu aneh karena tahun 2012 angka 55,7% sudah tercapai. Karena upaya-upaya daur ulang terus ditingkatkan (naik 17,5% sejak 2003), jumlah tonase sampah yang dibuang terus menurun sebanyak 6% setiap tahun sejak tahun 2007. Karena itu menurut statista.com, Seattle nomor dua terbaik untuk kota-kota di AS dan Canada dalam soal daur ulang, setelah San Fransico. Itu dapat tercapai karena setiap penduduknya mau sedikit berpikir sebelum membuang sampahnya, mau berdisiplin mengelola sampah mereka sesuai aturan yang sudah ditetapkan bersama.
Di Jakarta, kita lihat manajemen sampah masih di tahap memikirkan sistem pengumpulan dan pembuangan. Upaya-upaya daur ulang masih bersifat acak dan inisiatif sukarela. Pada umumnya orang masih memandang sampah itu "masalah kecil" dan yang pasti, bukan masalah mereka. Perjalanan masih jauh. Saya sering berpikir, bagaimana individual seperti kita dapat membantu pemerintah DKI dalam isu-isu lingkungan? Mungkin mulai dengan mengendalikan produksi sampah di rumah masing-masing, memberi contoh hemat energi,... atau Anda punya alternatif lain?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR