Hanya, lanjut Nizam, tahun ini sudah dimasukkan soal-soal berkategori high order thinking. Ada 5-10 persen soal yang berkategori itu. Tahun lalu ada beberapa soal yang menggunakan standar Programme for International Student Assessment (PISA).
Soal-soal high order thinking ini dibuat oleh tim guru yang telah mendapat pelatihan dari tim PISA tahun lalu. Menurut Nizam, pihaknya menginginkan UN menjadi inspirasi bagi anak. Materi soal lebih banyak berkisar pada contoh dalam kehidupan sehari-hari sehingga anak memahami konteks, tidak hanya menghafal rumus atau soal.
"Kami ingin anak-anak tertantang ketika mengerjakan ujian. Soal-soal ini bisa menjadi tambahan pengetahuan. Anak didorong untuk berpikir," katanya.
Perubahan bentuk dan materi soal seperti ini mau tidak mau akan memaksa guru untuk mengubah cara pembelajarannya. Harapannya, guru tidak lagi memberi latihan menghafal pengerjaan soal terus-menerus menjelang UN atau drilling soal. Ketika hanya menghafalkan soal, yang terjadi adalah murid hanya diajari trik-trik mengerjakan soal.
"Ini yang terjadi di bimbingan belajar. Anak-anak hanya tahu trik-trik, tidak memahami konsep dan konteksnya," ujar Nizam.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR