Kabar gembira itu dari Batam, Kepulauan Riau pada Sabtu (7/2). Serikat Perusahaan Pers (SPS) yang menggelar ajang bergengsi tahunan The 6th Indonesia Print Media Awards (IPMA) dan The 2nd Indonesia Young Readers Awards (IYRA) telah membuat pengumuman resmi. Ada sejumlah nama media tenar dan papan atas yang disebutkan sebagai salah satu pemenang dalam gelaran IPMA 2015. Salah satunya, National Geographic Traveler.
Dewan juri lintas profesi (terdiri dari Gunawan Alif/Komunikasi Massa, Ndang Sutisna/Ide dan Originalitas, Oscar Motuloh/Foto Jurnalistik, Harriny Yulianti/Branding, dan Janoe Ariyanto/Pemasaran) memilih Majalah National Geographic Traveler edisi Agustus 2014 sebagai Gold Winner dalam kategori The Best of Special Interest License Magazine IPMA 2015.
Menurut data panitia, entri IPMA tahun ini sebanyak 612 buah dari 134 perusahaan media di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbagi menjadi kategori Suratkabar 434 entri dari 81 media, kategori Majalah 127 entri dari 38 media, dan kategori Tabloid sebanyak 51 entri dari 15 media.
Setelah melalui tahapan yang cukup panjang sejak pendaftaran 10 November 2014 hingga 15 Januari 2015, akhirnya ajang bergengsi tahunan mencapai puncaknya dengan telah selesainya penilaian oleh Dewan Juri. Tahun ini jumlah entri IPMA yang masuk mengalami penurunan 10% dibanding tahun 2014. Dewan Juri dan Panitia pun lalu memutuskan penghargaan IPMA tahun 2015 sebanyak 81 pemenang yang tersebar untuk 3 (tiga) kategori; Kategori Suratkabar 48 pemenang, Kategori Majalah 24 pemenang dan Tabloid 9 pemenang.
Lantas, apa keistimewaan NatGeo Traveler edisi Agustus itu?
!break!Kami sengaja mengutip ulasan Selviya Hanna, salah seorang penerjemah majalah ini, yang membuat sepenggal bedah majalah yang telah ia muat dalam blog pribadinya
Inilah petikannya:
Artikel fitur pertama, yang sekaligus menjadi gambar sampul edisi ini, berjudul Mencari Kembali Surga di Afrika (judul dalam: Surgaloka yang Hilang dan Ditemukan). Bermula dari memoar tua bertitel I Married An Adventure karya Osa Johnson yang dihadiahkan seorang teman, sang penulis merandai Kenya demi mencari danau misterius yang tak ada di peta, hanya diketahui segelintir orang, dan—menurut memoar penjelajah tersebut—keindahannya bagaikan surga yang turun ke bumi. Simak deskripsi memoar tersebut mengenai danau yang disebut Danau Firdaus itu:
Maka mereka pun pergi, merekrut seorang pemburu hewan buas untuk memasok perbekalan safari dan memandu mereka memintas lapisan lahar kering Gurun Kaisut. Dengan selaskar portir dan kereta yang dihela lembu jantan, berhasrat mencari danau yang masih diragukan keberadaannya. Selama minggu-minggu yang panjang, ekspedisi mereka berarak melewati tanah tandus hingga akhirnya melihat sebuah kawah vulkanik mati di tengah-tengah gurun pasir. Mereka daki lereng-lerengnya yang berhutan dan menapaki bibir kaldera itu. Dari sana, seluruh pandangan mereka tertuju pada sebuah danau kecil. Bentuknya seperti sendok sepanjang 1,2 kilometer dan selebar hampir 400 meter, melentik naik ke tepian curam yang ditumbuhi pohon-pohon setinggi 60 meter. Jalinan anggur air dan lili Afrika cantik mekar memenuhi tempat dangkal di tepian airnya. Bebek liar, bangau, serta burung kuntul berputar-putar sambil membenamkan diri di sana. Dan hewan-hewan, lebih dari yang sanggup mereka hitung, berjejak anteng di air setinggi lutut untuk minum.
"Oh, Martin, ini Firdaus!" kataku.
Dan begitulah, tutur Osa, bagaimana mereka menemukan Danau Firdaus dan memberinya julukan berbau Alkitab.
Kisah itu memang misterius dan memikat, terlebih bagi penulis yang pernah merandai Kenya dari ujung ke ujung tapi tak pernah mendengar tentang Danau Firdaus. Uniknya, hampir tak ada informasi seputar danau ini semenjak eksplorasi Johnson. Masih eksiskah Danau Firdaus? Dan jika demikian, bagaimana nasibnya kini kawanan gajah yang direkam Johnson dan hutan lebat purba yang menjadi rumah bagi sekian banyak macan tutul, babun, dan kerbau Afrika?
!break!Artikel fitur kedua—Jejak Revolusi Meksiko (judul depan) atau Buku Harian Nenek (judul dalam) mengurai perjalanan sang penulis menelisik jejak pitarahnya di Meksiko Tengah. Keluarga sang penulis percaya mereka punya hubungan darah dengan pahlawan perempuan yang mencetuskan revolusi kemerdekaan Meksiko, Josefa Ortiz de Dominguez. Dalam catatan perjalanan ini, penulis punya ambisi yang sederhana: napak tilas perjalanan Josefa, serap semua hal terkait Revolusi Meksiko, dan melahap saus mole sambil jalan. Namun, siapa sangka di ujung pengembaraannya, ia justru menemukan kenyataan yang mengejutkan?
Temukan jawabannya dalam National Geographic Traveler edisi Agustus 2014 ini.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR