Tren batu akik mendorong maraknya aktivitas penambangan di lereng dan tebing oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal itu berpotensi menimbulkan bencana tanah longsor jika dilakukan secara masif.
“Jika dieksploitasi berlebihan rentan terjadi longsor,” kata Hardian, ahli geologi dari Universitas Trisakti, pada seminar Batu Permata di Jakarta, Sabtu (28/2). Meski area penggalian batu alam tak luas, sebagian lokasi tambang ada di sekitar lereng dan tebing.
Hardian mengatakan, aktivitas penambangan oleh warga kerao tak mempertimbangkan keselamatan dan mengabaikan dampak terhadap lingkungan. Padahal, penggalian batu pada kedalaman tertentu bisa memengaruhi kontur tanah. Akibatnya, tanah mudah ambles ketika hujan atau jika terjadi gempa bumi.
Penggalian menyisakan lubang-lubang karena lahan ditinggalkan begitu saja. Tak adanya proses pemulihan lahan pasca tambang itu mengancam kelestarian dan keselamatan warga. Penggalian dengan pola tertentu di dalam tanah membuat area rawan longsor meluas. “Penggalian seperti terowongan tikus,” ujarnya.
Untuk mendapatkan tiga kilogram batu alam, penggalian dilakukan di kedalaman 16-20 meter. Padahal, warga kerap melakukan pengumpulan batu alam puluhan kilogram untuk dijual. Selama ini belum ada kajian lama waktu yang dibutuhkan hingga potensi longsor bisa terjadi. Untuk itu, perlu ada penelitian di area tambang untuk mengetahui kekuatan batu alam dalam menopang tanah.
Selain manfaat ekonomi seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap batu akik, masyarakat perlu diberi informasi tentang dampak akibat penggalian besar-besaran. Apalagi, batu alam merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbarui.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sukhyar mengatakan, pihaknya meminta pemerintah daerah tak mengizinkan tambang batu alam pada investor asing. Hal ini untuk mencegah eksploitasi secara besar-besaran.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR