Di sisi lain, Gunung Tambora ke mana kami menuju terlihat gagah. Tenda sudah disiapkan. Satu di antaranya roboh tertiup angin kencang. Namun, semangat terlanjur membara pada pelari yang akan berlomba di Trans Sumbawa 200 yang dimulai Rabu ini. Lomba ultramaraton sejauh 320 kilometer dari Putatono ke Doro Ncanga jadi bagian dari sejarah peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora dan ajang atletik negeri ini.
“Lomba ini ibarat kehidupan itu sendiri. Pelari akan berlari di lintasan yang datar, naik-turun, dan berkelok-kelok. Mereka juga akan diterpa panas dan mungkin juga hujan di jalan,” kata Dohar Siburian, anggota panitia yang mendampingi Lexi Rohi, pengarah lomba (race director) Trans Sumbawa.
Dohar bersama Lexi merasakan tantangan yang akan dihadapi dengan pelari yang berjuang menaklukkan diri sendiri dan menyelesaikan lomba lari terjauh di Indonesia ini. Beberapa hari sebelumnya mereka memasang rambu-rambu di lintasan yang akan dilewati pelari dalam acara yang terselenggara atas kerjasama harian Kompas dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) serta event organizer ajang lomba trail Indonesia, F-One.
Selain lintasan yang menantang dengan tanjakan rolling serta lurus datar, cuaca panas akan menjadi tantangan tersendiri. Cuaca di “Bumi Gora” ini bisa lebih dari 40 derajat celcius. “Ibaratnya, matahari ada tiga,” canda Dohar.
“Waduh, pas keluar dari Bandara Praya, Lombok, cuaca langsung ngaheab (menyergap panas),” ujar M Wirawan AR, satu dari empat peserta yang berasal dari komunitas lari Bandung Explorer yang menamakan diri The A Team.
Penulis | : | |
Editor | : | Faras Handayani |
KOMENTAR