Sekalipun menjadi negara yang memiliki gunung api terbanyak di Bumi, kesiapsiagaan memang belum menjadi prioritas negeri ini. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam mengamanatkan pemerintah untuk lebih memprioritaskan mitigasi. Namun, hingga saat ini, tanggap darurat masih menjadi arus utama penanggulangan bencana.
"Sebagai perbandingan, erupsi Gunung Ontake di Jepang pada akhir tahun lalu yang menewaskan 40-an orang, diikuti dengan penambahan anggaran oleh Pemerintah Jepang sekitar Rp 6 triliun. Itu hanya untuk perbaikan peralatan," kata Surono.
"Bandingkan dengan anggaran rutin PVMBG yang totalnya rata-rata Rp 33 miliar per tahun. Itu untuk mengurusi semua gunung api, gempa, dan tsunami, termasuk membayar gaji pegawai dan petugas pos pemantauan."
Tak hanya soal politik anggaran. Minimnya perhatian terhadap situasi alam yang ekstrem ini juga terlihat dari kecilnya minat dunia pendidikan terhadap soal kebencanaan dan kegunungapian. "Sampai saat ini, kita juga belum punya kampus dengan jurusan vulkanologi sehingga orang Indonesia kalau mau belajar tentang gunung api harus ke luar negeri, seperti Prancis dan Jerman, yang tidak punya gunung api," kata Surono.
Gunung dan peradaban
Minimnya perhatian negeri ini terhadap gunung api sesungguhnya merupakan ironi. Padahal, bencana letusan gunung api merupakan bagian tak terpisahkan bagi kebudayaan, bahkan telah menjadi generator perubahan politik-ekonomi.
Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo (1966), letusan Gunung Krakatau telah melahirkan pemberontakan petani melawan Belanda. Peter Carey (2013) juga mencatat, letusan Merapi pada 1822 membangkitkan harapan rakyat akan datangnya Ratu Adil menjelang pecahnya Perang Jawa. Pangeran Diponegoro menganggap letusan Merapi sebagai penanda bahwa saatnya telah tiba. "Sambil menyaksikan gunung (Merapi) terbakar dan bumi bergoyang, ia tersenyum dalam hati karena maklum bahwa peristiwa ini adalah pertanda amarah Allah," tulis Carey.
Tak bisa dimungkiri, bencana alam memang memiliki daya ubah. Di Eropa, letusan Tambora telah melahirkan kebudayaan baru, mulai dari seni lukis, sastra, hingga temuan sepeda. Di Indonesia, selain karya Ganesh TH dalam seri komiknya tentang Si Buta dari Goa Hantu dengan edisi khusus "Manusia Serigala dari Gunung Tambora", nyaris tak ada literasi modern yang merekam peristiwa dahsyat ini. Sungguh ironis.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR