Butuh energi lebih untuk mendukung padatnya aktivitas, banyak yang memilih minuman energi sebagai solusinya. Hadir dengan rasa yang variatif dan enak, memberi efek segar seketika, ditambah harganya yang terjangkau, membuat minuman ini cukup akrab di kalangan remaja hingga dewasa. Meski terbilang cukup efektif menambah vitalitas, sayangnya minuman berenergi diperkirakan cukup berpengaruh terhadap kesehatan otak, khususnya pada usia remaja.
Itulah hasil dari sebuah studi terbaru yang dirilis dalam jurnal PLOS ONE. Para peneliti menemukan, kebanyakan remaja yang mengalamiTraumatic Brain Injury (TBI) di sepanjang tahun lalu, melaporkan kalau mereka terlalu banyak minum minuman berenergi.
Dalam seminggu, mereka bisa mengonsumsi sekitar 5 botol minuman berenergi. TBI sendiri merupakan jenis trauma otak yang disebabkan oleh benturan dari luar yang menyebabkan cedera otak. Dalam kasus yang parah, TBI bisa menyebabkan melambatnya kinerja otak, kecacatan bahkan kematian.
Menanggapi penelitian tersebut, Grabriela Ilie dari Division of Neurosurgery and Injury Prevention Research Office di St. Michael Hospital menyatakan, kaitan langsung antara minuman berenergi dengan kesehatan otak sebenarnya mesti dikaji lebih jauh lagi. Namun memang benar, minuman berenergi bisa membuat pemulihan cedera otak jauh lebih lama.
“Kalau kami pikir, kegiatan olahraga lah yang akhirnya membuat minuman berenergi erat kaitannya dengan TBI. Sebab, kemungkinan cedera saat berolahraga cukup besar, dan minuman berenergi banyak dikonsumsi sebelum berolahraga. Sehingga, bila olahraga membuat seseorang terkena benturan di kepala dan mengalami cedera otak, dan orang tersebut gemar mengonsumsi minuman berenergi, maka proses pemulihannya akan lama, atau bahkan memperparah kondisi tersebut,” jelas Ilie.
Melengkapi pernyataan Ilie, ahli bedah syaraf Dr Michael Cusimano dari rumah sakit yang sama berkata, “Minuman berenergi dalam botol mengandung kadar kafein yang tinggi dan bisa mengubah keadaan kimia tubuh. Kondisi itulah yang menyebabkan pemulihan cedera otak terhambat. Terlebih bila ini terjadi pada remaja, di mana otak mereka masih dalam fase pertumbuhan, minuman berenergi bisa memperparah kondisi tersebut.”
Selain olahraga, tak menutup kemungkinan banyaknya kejadian yang bisa menyebabkan seseorang terkena cedera otak, seperti terjatuh, berkelahi, atau kecelakaan lain. Dan bila orang tersebut senang mengonsumsi minuman berenergi setelahnya, maka proses pemulihan akan jauh lebih lama, atau bisa jadi kondisinya tak juga membaik.
Bila memang tak ada urgensi, minuman berenergi sebaiknya tak sering dikonsumsi. Apalagi dikonsumsi para remaja yang sebenarnya masih memiliki banyak waktu untuk menambah vitalitas dengan beristirahat.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR