Nationalgeographic.co.id—Natal di Indonesia tak sama dengan di Belanda. Indonesia mengadopsi sinterklas dan kedatangannya saban 25 Desember, yang mengadopsi dari gaya bernatal ala Amerika Serikat. Sedangkan di Belanda, dan Indonesia juga dulu saat dijajah Belanda, Sinterklas (St. Nicholas) datang setiap 5 Desember bersama pembantunya: Piet hitam atau Zwarte Piet.
Piet Hitam digambarkan dengan karakter berkulit hitam, anting emas besar, dan bibir yang besar. Menjelang tanggal 5 Desember, toko-toko di Belanda menjual kostum Piet hitam yang biasanya digunakan oleh orang dewasa kulit putih dengan riasan wajah hitam, untuk mengunjungi rumah dan sekolah anak-anak.
Namun, seiringnya berjalannya waktu, peran Piet Hitam menuai kritik oleh banyak kalangan, karena dinilai rasialis. Aksi protes juga berkembang semenjak aksi Black Lives Matter bergaung di seluruh dunia, termasuk di Belanda sejak 2016. Gaungan aksi Black Lives Matter makin membesar pada 2020 semenjak kematian George Floyd di Amerika Serikat, dan berujung pada penolakan adanya Piet Hitam.
Melansir NOS, protes itu diinisiasi oleh Kick Out Zwarte Piet bersama Black Queer & Trans Resistance NL. Mereka menerangkan, "kekerasan rasis institusional terhadap orang kulit hitam adalah masalah yang juga terjadi di Belanda dan seluruh Eropa" termasuk dalam kemasan Piet Hitam sebagai budaya natal.
"Orang Belanda cenderung berpendapat bahwa Piet Hitam adalah asli Belanda, dan orang lain di luar Belanda tidak memahami budaya kami," terang Mitchell Esajas, aktivis salah satu pendiri New Urban Collective dan Kick Out Zwarte Piet di National Geographic. "Tapi itu bagian dari tradisi internasional terkait stereotip rasial."
Esajas menambahkan, banyak dari lembaga yang mendukung justru sebenarnya tetap saja sama rasialisnya. Kebanyakan organisasi melarang Zwarte Piet malah mengubah citra karakter, seperti munculnya Schoorsteen Piet dalam parade Sinterklas di Amsterdam. Karakter itu dirias sebagai muka yang penuh jelaga hitam dan pakaian berbeda, yang membuat para aktivis anti-Piet tidak puas.
Belum lagi, tekanan para pegiat anti-rasisme ini mendapat respon dari gerakan supremasi kulit putih yang mendukung adanya Piet Hitam. Banyak laporan para wartawan di belanda menerima ancaman pembunuhan karena menulis terkait Zwarte Piet dan aktivis anti-wajah hitam untuk natal itu.
Esajas juga mendapat tuduhan dan fitnah yang meresahkannya. Ia tidak gentir, bahkan tetap mengajak orang yang mendukung Piet Hitam untuk berkaca ke masa lalu bahwa "jika neo-Nazi ada di pihak [mereka], mungkin inilah saatnya untuk benar-benar memikirkan tradisi ini."
Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah keberadaan Piet Hitam ini, dan mengapa tidak ada dalam budaya natal negara lain?
Piet Hitam pertama kali muncul 1850 oleh Jan Schenkman, penulis buku St. Nicholas en Zijn Knecht (St. Nicholas dan Pembantunya). Bagi banyak kalangan, masa itu adalah dimana Belanda melakyukan perbudakan pada non-kulit putih, khususnya kulit hitam Afrika. Lambat laun, sosok Piet Hitam ini diadopsi dalam buku-buku bernuansa Natal.
Pada kemunculan pertanya, tokoh ini belum disebut sebagai 'Zwarte Piet' tapi hanya sebagai kulit hitam pembantu St. Nicholas.
Keberadaannya juga sudah ada sebelum Jan Schenkman dengan bukunya, tapi juga Joseph Albertus Alberdingk Thijm sastrawan pada 1828 yang menggambarkan St. Nicholas di suatu malam membuat rumah bersama para pelayan kulit hitam.
Baca Juga: Benarkah Ini Tulang Panggul Sinterklas? Peneliti Mencoba Menjawabnya
Inge Schuiten penulis Het Zwarte Piet Smoelenboek: De Vele Gezichten van Piet in heden en verleden (Buku Wajah Piet Hitam: Ragam Muka Piet di Masa Lalu dan Sekarang), memandang Piet Hitam dan budak kulit hitam berbeda. Misalnya, pakaian yang dikenakan karakter itu, tidak cocok dalam gambaran budak.
"Budak yang mampu berpakaian elegan, memakai kain mahal dan juga memakai perhiasan hanyal budak favorit, seringkali wanita, yang kemudian didukung oleh tuannya dan budak kulit hitam yang memiliki penghasilan yang cukup untuk pengeluaran tersebut," tulis Schuiten di Historiek.
"Namun, tidak ada seorang budak pun yang mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Zwarte Piet sekarang."
Selain itu Piet Hitam juga menggunakan aksesoris seperti anting. Tapi perlahan penggunaan anting juga dihapuskan karena dianggap pengingat zaman perbudakan. Masalahnya, tambah Schuiten, budak tidak pernah menggunakan anting, karena benda berharga semua dilucuti oleh kolonial kulit putih dan ditangkap dalam keadaan telanjang.
Schuiten menambahkan, nama Zwarte Piet itu sendiri muncul pada 1868 dengan karakter yang menggunakan jas dan memiliki anting. Momen ini jelas lima tahun setelah perbudakan dihapuskan pada 1868.
Baca Juga: Zwarte Sinterklaas, Eksodus Masyarakat Sipil Belanda dari Indonesia
Tapi yang sangat berbeda, Piet Hitam awal-awal dan yang sekarang sangatlah berbeda pada ciri bibir merah tebalnya.
"Satu-satunya hal yang konstan adalah warnanya: selalu hitam. Ini menunjukkan bahwa warna itu penting. Anda sebenarnya bisa mengganti pakaian Zwarte Piet lebih mudah daripada warnanya!" ungkap Schuiten.
Sepanjang sejarah, ternyata Piet Hitam menjadi alat diskriminasi rasial terhadap orang kulit hitam. Dalam kabar Rotterdamsch Nieuwsblad edisi 1927, seorang pria kulit hitam disidang karena memukuli pekerja dok. Orang itu membela diri karena telah dilecehkan secara verbal karena orang kulit hitam di Belanda selalu dipanggil "Zwarte Piet".
Beberapa tahun kemudian juga pengalaman sempat dirasakan petinju Belanda, Albert Lafour yang kasar terhadap anak-anak karena dipanggil oleh mereka sebagai Zwarte Piet. Tapi dia tidak sampai ke pengadilan karena polisi membenarkan reaksi Lafour.
1956, De Telegraaf melaporkan seorang Belanda Suriname mengeluh karena mendapati anak-anak kecil disuruh oleh ibunya untuk mengatakan Zwarte Piet kepada penumpang kulit hitam di transportasi umum.
Baca Juga: Empat Kiat Memotret Keindahan Lampu-lampu Natal di Penjuru Kota
Penggunaan Piet Hitam sebagai diskriminasi terhadap kulit hitam pun masih terjadi dalam laporan De Volkskrant edisi 2 Juli 2016 berjudul "Kijk, daar heb je Zwarte Piet (Lihat, Anda Punya Piet Hitam)". Laporan itu diungkap oleh penyanyi Belanda Berget Lewis dalam wawancara.
Berbagai kalangan sejak 1930-an di Belanda juga mengkritik tentang Piet Hitam, termasuk sastrawan Belanda Herman Salomonson. Dia berpendapat pesta sinterklas untuk mendidik anak muda yang ada selama ini tidak baik, kecuali seseorang harus mulai dengan membesarkan "Sinterklas berkulit hitam, dilayani oleh pelayan kulit putih".
Indonesia yang baru merdeka, penulis kolom bernama Achjar Hadi di Siasat tahun 1952 menganggap festival natal ala orang Belanda adalah praktik dimana "orang kulit berwarna lebih rendah derajatnya daripada orang kulit putih."
Terbukti, ketika Ratu Belanda memanggil semua warganya yang setia pada kerajaan datang ke Eropa, diskriminasi terjadi. Orang Indonesia-Belanda pada saat itu mendapat ejekan "Zwarte Piet" oleh orang kulit putih, sebagaimana yang diterangkan Griselda Molemans dalam buku Opgevangen in Aindijvielucht.
“Saat itu, kami benar-benar dilihat sebagai warga negara kelas dua. Orang-orang menyentuh saya untuk melihat apakah saya menyerah, karena mereka sudah terbiasa dengan itu dari Zwarte Pieten. Mereka tidak tahu lebih baik," terang Sandra Reemer, penyanyi keturunan Indo-Belanda yang dikutip dari buku itu.
Baca Juga: Memori Natal Kita, Menonton Home Alone, Tegang Gregetan Tiap Adegan
Source | : | national geographic,De Telegraaf,NOS,De Volkskrant |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR