Nationalgeographic.co.id—Di Appalachia sekitar awal abad ke-20, para penambang di ladang batu bara Virginia Barat bagian selatan (Amerika Serikat) tinggal di kota-kota perusahaan.
Mereka bergantung pada bos mereka untuk setiap kebutuhan, termasuk rumah dan makanan mereka. Bayarannya rendah.
"Mereka dibiarkan hidup dalam kondisi dan lingkungan kerja yang sangat menyedihkan," tulis Irina Zhorov. Irina Zhorov menulis kepada Whyy, dalam artikelnya A West Virginia mountain embodies the long history of the coal industry’s grip, publish 2021.
Chuck Keeney, seorang profesor sejarah di Southern West Virginia Community and Technical College, melakukan kajian di wilayah Gunung Blair, Virginia, dalam misi mengungkap pertumpahan darah yang terjadi di sana.
"Melalui detektor logam, saat anda berkeliling, anda akan menemukan peluru, hanya berkisar 5 menit anda akan menemukan peluru, peluru lagi pada 10 menit kemudian," ungkap Keeney kepada Zhorov.
"Seratus tahun yang lalu, di tempat dia (Prof. Keeney) berdiri adalah titik selatan Pertempuran Gunung Blair, pertarungan buruh penting dalam sejarah, antara penambang dan loyalis perusahaan batu bara," tambahnya.
Baca Juga: Awal Mula Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927
Keeney menyatakan bahwa ia akan mengembalikan kisah besar yang terlupakan, tentang perlawanan kaum buruh yang tertindas oleh para loyalis perusahaan yang mendiskreditkan tenaga kerjanya.
"Jika anda mendengarkan, hutan di pedalaman Gunung Blair (Virginia), akan berkisah seputar tenaga kerja, batu bara, dan identitas warga Virginia Barat," kata Keeney.
Serikat Pekerja Pertambangan di Virginia mulai bersatu, berusaha mengorganisir para penambang di wilayah tersebut untuk melawan, tetapi pengelola perusahaan batu bara melawan balik, bahkan seringkali dengan kekerasan.
Dalam serangkaian bentrokan yang sekarang disebut Perang Ranjau, baik serikat pekerja maupun pendukung perusahaan, terbunuh. Sampai pada tahun 1921, ketegangan mulai memuncak.
Source | : | Whyy.org |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR