Meski air sumur yang ia ambil sudah tak jernih lagi, terasa asin dan berbau, ibu lima anak ini tetap mengambil air sumur di rumahnya untuk kebutuhan sehari-hari. “Namun, itu pun Cuma untuk buang air kecil atau besar. Kalau untuk mandi, enggak berani, apalagi dipakai masak,” lanjutnya.
Itu sebabnya, saat air perpipaan tak mengalir, dia mengeluarkan biaya lebih untuk membeli air guna kebutuhan minum dan masak. Lebih kurang, 5-10 jerigen air harus dibeli. Untuk menghemat, dia menyuruh anak-anaknya mandi di kamar mandi umum dilingkungannya.
Sudah tidak aman
Nila Aedhianie dari Amrta Institute for Water Literacy, pekan lalu, mengungkapkan, air tanah yang digunakan masyarakat, khususnya masyarakat bawah, saat ini sudah tidak aman. Konsumsi air itu tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan, tetapi juga berpengaruh pada kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Warga yang terkena penyakit, ucap Nila, harus menyisihkan uang. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain, digunakan untuk biaya pengobatan. Akhirnya, ada bagian kebutuhan yang tak terpenuhi. Warga yang sakit juga harus kehilangan waktu untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan.
“Dampak ini sangat terasa pada masyarakat bawah yang sebagian besar menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air,” katanya. Menurut dia, bahkan untuk pelanggan yang sudah ada saja, dua operator air perpipaan di Jakarta saat ini belum mampu menjamin pasokan air selalu mengalir.
Menurut catatan lembaganya, tercatat sedikitnya 40.000 keluhan matinya air perpipaan sepanjang 2013. Persoalan ini serius karena air bersih menjadi sangat terbatas.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR