Nationalgeographic.co.id—Setiap bulan Desember, pasar Natal mengubah alun-alun utama kota-kota di seluruh Eropa menjadi negeri musim dingin yang indah. Pondok kayu dihiasi lampu berkelap-kelip untuk menarik pengunjung.
Selain ornamen Natal, secangkir glühwein hangat atau anggur yang sudah matang juga menjadi daftar minuman yang wajib dicoba.
Di Jerman saja—di mana tradisi pasar Natal berawal—terdapat sekitar 2.500 hingga 3.000 pasar Natal setiap tahunnya. Sayangnya, lonjakan kasus COVID-19 membuat para pecinta pasar Natal harus menghadapi liburan tanpa tradisi ini.
Bukan hanya sekedar pasar belaka, beberapa sejarawan menekankan pentingnya praktik budaya ini. Mereka berpendapat bahwa pasar Natal Jerman harus dimasukkan dalam daftar warisan budaya takbenda UNESCO.
“Apa yang membuatnya begitu penting bukan hanya membeli hiasan,” kata Dirk Spennemann, profesor asosiasi dalam manajemen warisan budaya di Universitas Charles Sturt Australia. Menurutnya, pasar Natal mencakup pengalaman suara, aroma, visual, dan keberadaan pengunjung.
Bagaimana awal mula pasar Natal hingga menjadi suatu tradisi yang sayang untuk dilewatkan?
Selama berabad-abad, pasar ini telah beradaptasi dengan perubahan politik dan kebiasaan sosial di setiap era baru. Mulai dari revolusi industri hingga kebangkitan partai Nazi.
Pasar Natal Eropa berasal dari abad pertengahan, ketika wilayah Jerman menutupi sebagian besar benua. Di Jerman, pasar Natal Dresden pertama kali dibuka selama satu hari pada Malam Natal di tahun 1434. Sementara itu, bukti tertua dari pasar Natal Nuremberg adalah pada tahun 1628.
Spennemann mengatakan tidak jelas apakah pasar awal ini diadakan untuk Natal atau hanya berlangsung pada waktu Natal. Saat itu, orang-orang tinggal di komunitas di sekitar gereja mengadakan pasar untuk semua hari raya keagamaan. Dari antara semua pasar hari raya, pasar musim dingin inilah yang terbesar. Pasar ini diramaikan oleh perajin lokal yang menjual tembikar, daging, makanan yang dipanggang, dan permen.
Beberapa ilustrasi menggambarkan orang Jerman yang kaya minum-minum bersama di alun-alun pasar utama. Sementara yang lainnya berbelanja di kios pinggir jalan. Tetapi Spennemann mengatakan gambar-gambar ini kemungkinan adalah hiasan yang dibuat oleh seniman dari era selanjutnya. Seniman ini merindukan Natal masa lalu di mana setiap kelas sosial merayakan Natal masing-masing.
Revolusi Industri turut memengaruhi pasar Natal di abad ke-19. Meningkatnya standar hidup dan munculnya kelas pekerja memicu pertumbuhan pasar Natal. Di Berlin, misalnya, pasar Natal memiliki 303 kios pada tahun 1805 menjadi sekitar 600 pada tahun 1840.
Ketika pasar mulai melayani kelas pekerja, polisi mengeluh tentang jumlah pekerja yang sering berkunjung. “Ini dipandang kumuh, bahkan berbahaya dan mengancam,” kata Joe Perry, penulis Christmas in Germany: A Cultural History.
Kekuatan kapitalis di akhir abad ke-19 menggeser lokasi pasar Natal ke pinggir kota. Ini dilakukan oleh para pemilik pusat perbelanjaan besar untuk menghindari persaingan. Selama beberapa dekade, pasar Natal pun merana.
Pada 1930-an, pasar Natal kembali ke pusat kota di seluruh Jerman—dengan bantuan Nazi.
Natal menjadi alat politik pada saat itu. Para politisi berusaha untuk membentuk kembali tradisinya agar sesuai dengan kecenderungan anti-kapitalis atau ateis mereka. Adolf Hitler kemudian mengubah Natal dari hari raya keagamaan menjadi hari raya nasionalis yang memuji warisan Jerman.
Baca Juga: Führerbunker, Tempat Persembunyian Terakhir sang Diktator Nazi
Mereka memasukkan citra Nazi ke dalam adegan Keluarga Kudus, mengisi kalender Adven dengan propaganda partai. Tidak ketinggalan, lagu-lagu Natal pun ditulis ulan, seperti “Silent Night”, untuk menghilangkan konotasi Kristennya.
Pasar Natal secara alami cocok dalam upaya menyelaraskan Natal dengan ideologi Nazi karena merupakan tradisi populer yang sudah ada.
Ekonomi mendorong sebagian dari upaya ini untuk meremajakan pasar, kata Perry. Di tengah Depresi Hebat, Nazi percaya bahwa penjualan barang-barang buatan Jerman dapat membantu perekonomian dan membangkitkan semangat warga.
Hal ini pun terbukti. Di Berlin, 1,5 juta orang mengunjungi pasar pada tahun 1934. Tetapi kemakmuran ekonomi Jerman berakhir dengan dimulainya Perang Dunia II. Pada tahun 1941, banyak kota menutup pasar mereka.
Setelah perang berakhir, pasar Natal kembali bergeliat. Kebangkitan konsumerisme di tahun 1960 sampai 1970-an memicu peningkatan belanja Natal. Pergeseran ekonomi ini membuat pasar Natal menjadi acara budaya besar-besaran. Selama akhir pekan, ribuan pengunjung menyerbu pasar ini.
Baca Juga: Demi Propaganda, Nazi Bikin Alkitab Anti-Semit dan Yesus Ras Arya
Dalam sekejap, peran Nazi dalam menghidupkan kembali pasar Natal pun terlupakan. Perry menunjukkan bahwa partai politik Jerman lainnya selama bertahun-tahun juga berusaha untuk memengaruhi tradisi tersebut.
Pada awal abad ke-20, kaum Marxis mencoba membingkai ulang Natal sebagai hari raya pagan. Partai Komunis di Berlin Timur juga berusaha menyelaraskan Natal dengan nilai-nilainya.
Pada 1980-an dan 1990-an, pasar Natal Jerman diminati banyak orang, bahkan dari luar Jerman. Sehingga akhirnya pasar ini menjadi ekspor budaya. Kota-kota di negara-negara di seluruh dunia—termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan India—membuat pasar Natal-nya sendiri. Lengkap dengan bratwurst, glühwein, dan lampu berkelap-kelip.
Sementara itu, di Jerman, jumlah pasar Natal juga meningkat selama 50 tahun terakhir—tiga kali lipat dari sekitar 950 pasar pada 1970-an menjadi sekitar 3.000 pada 2019. Biro pariwisata lokal menggunakannya untuk membujuk turis agar berkunjung selama hari-hari paling suram di musim dingin.
Pandemi COVID-19 menjungkirbalikkan semuanya, termasuk pasar Natal di Jerman. Banyak kota yang berusaha membuat pasar Natal secara daring atau bahkan drive-thru. Namun usaha ini tidak dapat menggantikan aspek penting dari pasar Natal.
“Jelas ini tidak berhasil,” kata Spennemann. “Kecuali Anda menyediakan pasar dalam bentuk 3D dan mengirim aroma pasar Natal.”
Dengan mendokumentasikan sejarah pasar Natal, para ilmuwan berharap untuk meletakkan dasar jika Jerman memutuskan untuk mengajukan pengakuan UNESCO.
Pasar Natal berevolusi untuk mewakili siapa kita pada waktu tertentu—menjadi lebih baik dan, ya, terkadang lebih buruk.
Baca Juga: Sisa-Sisa V2 Nazi, Roket Supersonik Pertama, Ditemukan di Inggris
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR