Saat ini kemajuan teknologi di Bumi memang masih jauh dari mesin teleportasi seperti yang ada di film-film sains fiksi. Tetapi seandainya suatu hari teknologi tersebut ditemukan, bagaimanakah otak kita bereaksi ketika berpindah secepat kilat dari satu tempat ke tempat lain?
Itulah pertanyaan yang diajukan oleh ahli saraf di University of California. Mereka telah memfokuskan diri secara khusus untuk mengetahui jawaban apakah otak manusia siap untuk teleportasi?
Jawabannya adalah “Ya”. Tampaknya otak kita dapat menyimpan informasi navigasi tertentu, bahkan ketika semua indera dan input ke otak “menjadi gelap”. Dengan kata lain, otak tidak akan tercabik-cabik dengan \'loncat\' dari satu tempat ke tempat lain. Tentu saja, para ilmuwan tidak menggunakan mesin teleportasi untuk menguji hal ini. Mereka membuat sebuah simulasi komputar untuk menyampaikan pengalaman menggunakan mesin teleportasi secara akurat pada otak.
Setiap kali kita bergerak, ada pola otak ritmis tertentu yang muncul, dan pola-pola juga muncul ketika kita bergerak melalui ruang virtual pada komputer. Penelitian para ilmuwan ini telah diterbitkan dalam jurnal Neuron.
Jadi, dengan memanfaatkan teknologi Virtual Reality pengalaman teleportasi, peneliti mampu mendapatkan pemikiran bagus tentang bagaimana sebuah teleporter kehidupan nyata mungkin mempengaruhi kita.
Tiga pasien epilepsi yang sudah memiliki monitoring elektroda otak yang ditanamkan di otak mereka (untuk memantau tanda-tanda kejang) dipilih untuk mengambil bagian dalam studi ini.
Osilasi saraf ini berlanjut selama simulasi teleportasi, yang menunjukkan bahwa kesadaran navigasi kita mungkin tetap berfungsi sementara kita berteleportasi. Ini penting, karena teori yang ada saat ini bertentangan dengan kebanyakan model neurologis.
“Gagasan bahwa input vestibular/proprioseptif begitu fundamental bagi kita untuk memberi kode pada suatu tempat telah mendominasi bidang navigasi spasial selama beberapa dekade,” ujar Arne Ekstrom, penulis utama studi.
“Hasil penelitian kami bertentangan dengan gagasan sebelumnya dan dengan demikian, gagasan tersebut memerlukan revisi dari model yang kami asumsikan benar selama beberapa waktu,” katanya.
Hebatnya, pola ritmis bervariasi tergantung pada seberapa jauh subjek berteleportasi.
Perlu diingat bahwa studi ini menggunakan jumlah sampel yang sangat kecil dan melibatkan jenis tertentu pada orang-orang yang memiliki kondisi epilepsi. Tapi yang menarik adalah, ketiga relawan tersebut menunjukkan pola otak yang sema selama tes, dan itu merupakan landasan untuk studi lanjutan di masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR