Buah mengkudu atau pace selama ini hanya dikenal sebagai obat herbal yang mampu mencegah dan membunuh berbagai penyakit secara alami. Namun, di tangan para siswa Madrasah Ibtidaiah (MI) Desa Kalisidi, Ungaran, Kabupaten Semarang, buah dengan tampilan berbenjol-benjol ini juga bisa menjadi sumber energi alternatif yang mereka sebut dengan nama "baterai mengkudu".
Tanaman mengkudu di desa yang terletak di lereng utara Gunung Ungaran ini memang tumbuh subur. Anak-anak kecil di desa tersebut sering memanfaatkan buah mengkudu sebagai mainan.
Melihat banyak buah mengkudu yang sepintas tak bernilai itu, empat siswa kelas V dan kelas VI yang tergabung dalam tim sains MI Kalisidi berupaya menyulapnya menjadi sesuatu yang bernilai.
Bahan untuk membuat baterai mengkudu ini sangat murah, yakni buah mengkudu dan baterai bekas yang sudah tidak terpakai.
Cara membuatnya pun mudah. Pertama, cangkang baterai bekas dibuka, kemudian bagian ujung kutub positifnya dipotong. Batang karbon inilah yang digunakan sebagai anoda atau kutub positif baterai, serta lapisan seng, sebagai katoda, menjadi kutub negatif baterai. Sementara itu, pasta sebagai elektrolit yang memisahkan katoda dan anoda dibuang, yang nantinya digantikan oleh mengkudu.
Selanjutnya, buah mengkudu diparut hingga halus. Parutan mengkudu ini lalu dimasukkan ke dalam tabung baterai bekas, menggantikan pasta elektrolit yang sudah usang. Kemudian, tutup kembali cangkang baterai, rekatkan dengan isolasi.
"Inilah fungsi buah mengkudu sebagai penghantar antara anoda dan katoda," kata Ahmad Ulinuha (12), siswa kelas VI MI Kalisidi.
Ulinuha tidak serta-merta berhasil dalam membuat baterai mengkudu ini. Ia dan tiga anggota timnya sudah beberapa kali melakukan uji coba membuat baterai alternatif dengan berbagai buah lokal yang ada di desanya. Namun, ternyata, buah mengkudulah yang mempunyai kandungan elektrolit paling tinggi.
"Pernah pakai belimbing wuluh, markisa, mengkudu, terus jeruk. Ternyata lebih banyak mengkudu," ucapnya.
Baterai mengkudu karya siswa ini telah dicoba untuk mengerakkan jam dinding di sekolah. Hasilnya, jam dinding dapat bertahan selama empat jam.
Kreativitas para siswa ini sudah barang tentu tak lepas dari bimbingan para guru yang mendampingi mereka. Proses inovasi para siswa ini bermula dari pelajaran IPA yang kemudian diaplikasikan ke dalam aktivitas nyata mereka.
Salah satu guru pembimbing di MI Kalisidi, Maria Ulfa, mengatakan, tujuan pembelajaran inovasi ini adalah untuk merangsang kreativitas para siswa dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekelilingnya, baik dari alam maupun bahan-bahan yang sudah tidak terpakai.
"Supaya anak-anak lebih kreatif, lebih bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar lingkungan. Kalau kita bisa bikin sendiri, kenapa harus beli?" kata Ulfa.
Kendati karya inovasi purwarupa siswa madrasah ini sudah berfungsi dengan baik, mereka bertekad akan terus menyempurnakannya sehingga baterai mengkudu ini bisa bertahan lebih lama lagi.
Terlebih lagi, bagi masyarakat Desa Kalsidi, baterai sangat vital untuk menghidupkan berbagai barang elektronik di tengah kondisi bahwa aliran listrik PLN sering padam.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR