Dunia maya di media sosial, terutama Twitter, mendadak ramai dengan munculnya tagar #NyalaUntukYuyun.
Tagar ini merupakan bentuk perlawanan dan solidaritas netizen terhadap meninggalnya YN (14), seorang siswi SMP di Desa Padang Ulak Tanding, Kecamatan Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, pada pertengahan April 2016 yang diperkosa 14 pemuda saat pulang sekolah.
Aksi #NyalaUntukYuyun mendapatkan perhatian banyak pihak dan viral di jejaring sosial.
Manajer Program Cahaya Perempuan Women Crisis Center, Juniarti, menyebutkan, sudah seharusnya darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak ditetapkan di daerah Rejang Lebong, Bengkulu.
Ia bahkan menyebutkan, sepanjang 2016, terdapat 36 kasus kekerasan anak dan perempuan yang terjadi. Sebelumnya, di Kabupaten Rejang Lebong pada tahun 2015, peristiwa kekerasan mencapai 84 kasus.
"Pemberlakuan darurat kekerasan anak dan perempuan wajib dilakukan Pemda Rejang Lebong agar Pemda memiliki arah dan tujuan jelas dalam penuntasan persoalan ini," kata Juniarti seperti dikutip dari Kompas.com.
Menyalahkan Korban
Kekerasan seksual terhadap perempuan yang sudah sangat sering terjadi di Indonesia, seringkali disepelekan. Kasus-kasus tersebut ‘kalah prioritas’ dengan kasus-kasus lain, seperti korupsi dan drama politik.
Sophia Hage, direktur kampanye kelompok penyintas kekerasan seksual Lentera Indonesia mengatakan stigma bahwa kekerasan seksual terjadi disebabkan karena kesalahan korban dan bukan pelaku yang masih kuat di benak masyarakat kita, merupakan salah satu penyebab mengapa kasus semacam ini luput dari perhatian.
Sering dalam kasus perkosaan, misalnya, orang lebih berfokus pada apa yang dipakai korban saat itu. Lalu mengapa dia pulang malam atau mengapa orang tuanya tidak bisa mendidik anak perempuannya dengan baik, kata Sophia yang mendirikan Lentera Indonesia bersama Wulan Danoekoesoemo.
"(Karena itu) orang lebih menyalahkan korban dan sistem dukungan di sekitar korban, dari pada mempertanyakan tindakan kriminal pelaku," ujar Sophia kepada BBC Indonesia.
Victim blaming, atau kecenderungan masyarakat menyalahkan korban kekerasan seksual inilah yang membuat banyak perempuan enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya.
"Kasus Yuyun ini adalah cerminan. Ujung dari gunung es, karena lebih dari 75% kekerasan seksual tidak terlaporkan," katanya.
Tak hanya wacana dunia maya
Kartika Jahja, yang bersama komunitas Kolektif Betina menginisiasi tagar Nyala Untuk Yuyun berharap gerakan simpati di media sosial untuk Yuyun tidak berhenti sebagai wacana di dunia maya.
"Kita perlu melawan kekerasan seksual di dunia nyata juga dengan cara apapun yang kita mampu, sesuai keahlian kita dan latar belakang kita," ujarnya kepada BBC Indonesia.
Dia mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah sangat genting namun masih dianggap sepele, sehingga perlu banyak orang untuk bersuara hingga terjadi perubahan.
"Semua orang punya tugas untuk melawan kekerasan seksual, bukan hanya marah terhadap satu kasus, lalu sudah," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR