Hampir setiap minggu, kami melewati Istana Presiden yang terletak di km 0 Yogyakarta atau Jalan A. Yani, seruas Jalan Malioboro, tepat di seberang Museum Benteng Vredeburg. Belakangan kami baru tersadar, kami belum cukup tahu bahwa masyarakat bisa bertandang dan berwisata ke Istana Presiden Republik Indonesia Yogyakarta yang disebut Gedung Agung ini.
Pohon-pohon besar tua dan rindang menyapa kedatangan kami. Mugiyono, pemandu tur istana, ikut mendampingi. Zaman dahulu, mayoritas yang ada di sini adalah pohon mangga dan beringin. Saat ini, ada juga pohon asam, ketepeng, sawo budru, dan matoa. Taman ditata apik dan amparan hijau rumput menyejukkan pandangan.
Eksterior bekas kediaman resmi Anthonie Hendriks Smissaert di awal abad ke-19 ini didominasi pilar besar gaya Eropa terutama di serambi muka, juga pintu kayu dan kaca tinggi, lengkap dengan lubang angin berterali besi sesuai iklim tropis. Chandelier (lampu gantung kristal susun) tersebar di banyak bagian gedung. Dominasi putih dinding istana bersih terawat menambah kesan agung.
Gedung Agung menjadi sarat arti, ketika pemerintahan RI hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada 6 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibu kota baru RI. Gedung Agung jadi Istana Kepresidenan, kediaman Presiden pertama RI Ir Soekarno dan keluarga.
Pada 19 Desember 1948, Jenderal Spoor menyerbu Yogyakarta hingga Sidang Dewan Menteri memutuskan pembentukan Pemerintah RI Darurat ketika Soekarno diasingkan ke Brastagi bersama KH Agus Salim dan Sutan Sjahrir. Sedangkan Wapres Hatta diasingkan ke Bangka bersama Mr Moh. Roem, Mr AG Pringgodigdo, Mr Assaat, serta Marsekal Suryadarma.
Pada 6 Juli 1949, Soekarno dan tokoh lain kembali ke Yogyakarta hingga Istana Yogyakarta kembali menjadi tempat kediaman resmi Presiden. Sejak 28 Desember 1949, Presiden kembali ke Jakarta sehari sebelum penyerahan kedaulatan oleh Belanda. Sejak 1991, Istana Yogyakarta resmi jadi tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di tengah gedung Induk, gedung utama karesidenan sejak hampir dua abad lalu, terdapat Ruang Garuda. Di sinilah Presiden menerima tamu. Di sini pula, Jenderal Sudirman dilantik oleh Soekarno sebagai Panglima Besar dan Pucuk Pimpinan TNI, dan kemudian menjalankan Perang Gerilya yang membanggakan dan mengharukan itu.
Di Ruang Sudirman dan Ruang Diponegoro dipajang lukisan, serta patung torso Jenderal Sudirman dan Diponegoro.
Di ruang jamuan makan berbentuk aula, Presiden dan Wakil Presiden RI biasa menikmati hidangan atau menjamu tamu negara. Ruang Kesenian, joglo dirombak sedemikian rupa sehingga layak sebagai tempat menjamu tamu negara dengan pementasaan aneka sendratari, musik dan busana khas Indonesia. Atap joglo masih dipertahankan kemegahannya, ukiran khas Yogyakarta dengan sentuhan cat warna kayu broken white, merah maroon, dan keemasan.
Dari Gedung Induk, perjalanan kami bergeser ke bangunan tempat Museum Benda Seni yang terdiri dari dua lantai. Dipenuhi karya seni bernilai tinggi, berupa lukisan dan patung karya seniman modern Indonesia seperti Raden Saleh, S. Soedjojono, Basuki Abdullah, Dullah, Affandi, Harijadi, Soerono, Gambir Anom, Fajar Sidik, Bagong Kussudiardjo, hingga Nyoman Gunarsa.
Ada pula karya seniman mancanegara yang berperan penting di sejarah seni rupa Indonesia, antara lain Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Arca-arca temuan lepasan zaman Hindu-Buddha, cendera mata dari tamu kenegaraan juga menghiasi beberapa sudut ruang museum.
Kunjungan berakhir di Ruang Serbaguna yang dahulunya bernama Gedung Senisono. Bangunan ini didirikan pada Juni 1822, berawal dari tempat hiburan kalangan sipil dan militer masyarakat Belanda.
Di masa pascarevolusi, Gedung Senisono aktif dimanfaatkan bidang kesenian. Sempat berfungsi sebagai gedung bioskop (1952-1965), Art Gallery Senisono untuk berbagai aktivitas kesenian dari berbagai cabang dan jenis seni (sejak 1967).
Terdapat pula gedung yang khusus difungsikan sebagai penginapan bagi tamu Presiden, baik tamu asing maupun tamu dari jajaran pemerintahan, yaitu Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma Saptaphratala.
Tak terasa sudah sekitar dua jam kami berkeliling kompleks istana. Pengalaman pertama ini membuat kami ingin kembali lagi ke sana, untuk secara lebih serius menikmati koleksi benda seni Istana Yogyakarta yang tak bernilai harga dan sejarahnya. Istana Yogyakarta memang hanya sebentar saja menjalankan peran pentingnya sebagai jantung Ibukota Republik Indonesia, namun tidak mengecilkan arti pentingnya dalam perjalanan awal negeri ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR