Hasil sensus atau pencacahan terbaru dari alam semesta yang dipublikasikan mengungkap jumlah galaksinya meningkat sepuluh kali lipat dari cacah galaksi sebelumnya yakni 200 miliar galaksi.
Dua triliun! Bayangkan! Ada dua triliun galaksi di alam semesta. Masing-masing galaksi diisi oleh jutaan sampai milyaran bintang, dan setiap bintang minimal punya 1 planet! Sepertinya akan lebih menyenangkan lagi jika kita bisa menemukan ada kehidupan di planet lain. Tentang planet yang punya kehidupan itu cerita berbeda yang sudah sering dan akan terus dibahas, mengingat kita masih terus melakukan pencarian.
Ok. Sekarang kita tahu jumlah galaksi di alam semesta. Apakah penting? Seperti halnya sensus penduduk, dengan mengetahui jumlah penduduk, kita bisa mengetahui pertumbuhan penduduk pada suatu kota, kepadatan penduduk pada suatu area juga tingkat kelahiran dan kematian.
Baca juga: Oymyakon, Desa Terdingin di Bumi
Demikian juga dengan galaksi. Dengan mengetahui jumlah galaksi pada alam semesta teramati, kita bisa mengetahui dan menjejak kembali pembentukan galaksi di alam semesta dini maupun menjawab paradoks Olber mengapa langit tampak gelap.
Tapi sebelum kita sampai jawaban dari implikasi yang diperoleh. Pertanyaannya, bagaimana para astronom bisa mengetahui ada dua triliun galaksi di alam semesta? Dua Triliun! Angka dua dengan dua belas nol aka 2.000.000.000.000.
Kita punya galaksi sebanyak itu di alam semesta. Tapi….perlu diingat kalau dua triliun galaksi tidak berarti bintang bertambah banyak atau ukuran alam semesta membesar. Hasil cacah galaksi ini justru memberi tahu kita kalau bintang-bintang yang ada di alam semesta terbagi atau tersebar di lebih banyak galaksi. Jadi kalau sebelumnya yang kita tahu bintang tersebar di 200 miliar galaksi, sekarang bintang-bintang yang sama kita ketahui menyebar ke lebih banyak galaksi. Yup! 10 kali lipat atau 2 triliun galaksi. Artinya, ada banyak sekali galaksi kecil di alam semesta.
Cacah Galaksi di Alam Semesta
Untuk bisa mengetahui jumlah galaksi di alam semesta, para astronom bertindak sebagai petugas sensus. Tapi, sensusnya tidak dengan menyambangi setiap galaksi. Ke planet Mars saja masih rencana…
Cara sensusnya dengan memanfaatkan mata yang ada di luar angkasa seperti teleskop Hubble. Para astronom tidak menggunakan teleskop yang ada di Bumi karena tidak semua radiasi elektromagnetik bisa mencapai Bumi. Atmosfer Bumi yang jadi penyebabnya. Nah, teleskop di luar angkasa tidak dihalangi oleh atmosfer untuk bisa menerima cahaya dari seluruh panjang gelombang yang ada. Ini penting karena galaksi yang diamati oleh teleskop di luar angkasa sebagian besar sangat redup.
Dalam cacah galaksi di alam semesta, Teleskop di luar angkasa dalam hal ini Teleskop Hubble melakukan pengamatan pada satu area di langit. Hanya satu petak kecil area di langit. Jadi teleskop Hubble hanya bertugas untuk mengamati satu petak area tersebut.
Setelah berhasil mengetahui ada berapa banyak galaksi di area tersebut, maka para astronom bisa mengetahui jumlah galaksi di seluruh alam semesta. Bagaimana bisa?
Baca juga: 6 Akibat Jika Terlalu Sering Makan Makanan Berminyak
Prinsip kosmologi menyatakan kalau dalam skala besar, distribusi materi dalam alam semesta itu homogen dan isotropik. Dengan asumsi bahwa alam semesta itu homogen, maka jumlah galaksi pada satu area di alam semesta bisa diekstrapolasi untuk area lain di alam semesta. Dengan cara inilah para astronom bisa mengetahui perkiraan jumlah galaksi di seluruh alam semesta.
Jadi apa yang dilakukan Teleskop Hubble?
Sejak pertengahan tahun 1990-an, teleskop Hubble melakukan survei pada satu petak langit untuk mengetahui ada berapa galaksi di sana. Pengamatan dilakukan secara terus menerus selama 10 hari untuk bisa memotret area tersebut dengan eksposur panjang. Tujuannya agar Teleskop Hubble bisa melihat obyek yang sangat redup. Jumlah galaksi yang diperkirakan para astronom lewat survei Hubble Deep Field2 di tahun 1996 adalah 120 miliar galaksi. Dalam pengamatan ini, Teleskop Hubble bisa mendeteksi keberadaan galaksi yang berada pada jarak 12 miliar tahun cahaya atau kurang dari 2 miliar tahun setelah Big Bang.
Dari kerapatan distribusi materi di alam semesta, para astronom bisa mengetahui kalau masih banyak galaksi belum terdeteksi. Dan ini tentunya berasal dari galaksi yang sangat redup. Survei berikutnya dilakukan oleh Teleskop Hubble setelah instrumennya diperbaharui oleh NASA pada tahun 2009. Hasil survei Hubble Ultra Deep Field mengungkap keberadaan 200 miliar galaksi di alam semesta teramati. Kali ini teleskop Hubble berhasil menerima informasi dari galaksi yang jaraknya 13 miliar tahun cahaya atau hanya beberapa ratus juta tahun setelah Big Bang.
Meskipun hasil pengamatan memberikan informasi keberadaan 200 miliar galaksi, para astronom menduga masih ada banyak galaksi redup yang belum teramati.
Untuk itu, mereka melakukan perhitungan yang lebih mendalam. Perhitungan ini melibatkan jumlah galaksi pada epoh yang berbeda. Para astronom melakukan perhitungan jumlah galaksi dan pengelompokkan galaksi tersebut berdasarkan massa dan kecerlangannya. Jumlah ini tentunya berubah seiring perubahan jarak.
Untuk jarak yang semakin jauh, tentu akan lebih sulit mengenali galaksi yang amat sangat redup. Kita bisa analogikan dengan lampu yang sangat terang dan redup. Ketika kamu menyalakan lampu tidur yang redup di dekatmu, tentu mudah sekali kita bisa melihat cahayanya. Sekarang tempatkan lampu redup itu 2 km dari kita. Apakah masih tampak? Lampu itu ada di sana tapi tidak terlihat karena sangat redup.
Hal yang sama juga terjadi dalam survei galaksi. Galaksi redup di dekat Bima Sakti bisa mudah dideteksi. Tapi pada jarak yang jauh, galaksi-galaksi ini tidak tampak. Ketika para astronom mengamati galaksi-galaksi yang sangat jauh, yang dilihat adalah kondisi galaksi itu saat masih muda. Hal ini tak lain karena cahaya membutuhkan waktu untuk bisa sampai ke Bumi. Untuk bisa mengetahui ada berapa banyak galaksi yang tak terlihat, para astronom mengamati galaksi dekat untuk mengetahui kecerlangannya.
Informasi ini kemudian diaplikasikan pada galaksi yang ditemukan mulai dari galaksi yang massanya 10 miliar massa Matahari sampai yang paling kecil yakni 1 miliar massa Matahari. Jika massanya kurang dari 1 miliar massa Matahari, maka obyek tersebut dikelompokkan sebagai gugus bintang.
Informasi yang ada kemudian digunakan untuk mengetahui jumlah galaksi yang kecil dan redup sampai jarak 13 miliar tahun cahaya atau saat pertama kali cahaya dari galaksi-galaksi jauh tersebut memulai perjalanannya ke Bumi. Pada saat itu, alam semesta baru berusia 650 juta tahun.
Hasilnya, para astronom bisa memperkirakan kalau alam semesta teramati diisi oleh 2 triliun galaksi.
Implikasi
Di masa depan, kita akan bisa mengamati lebih banyak lagi galaksi redup saat Teleskop James Webb diluncurkan tahun 2018 kelak.
Tapi sebelum saat itu tiba, mari kita tengok implikasi lain dari penemuan ini.
Sejak cahaya meninggalkan galaksi itu sampai ketika cahaya dari galaksi jauh mencapai kita di Bumi, ada rentang waktu yang sangat panjang. Tiga belas miliar tahun!
Galaksi terbentuk ketika alam semesta masih muda. Saat itu galaksi yang terbentuk berukuran kecil. Dalam perjalanan evolusinya, galaksi-galaksi tersebut kemudian bergabung dan membentuk galaksi yang lebih besar. Seiring waktu jumlah galaksi juga berkurang dan berkontribusi pada solusi paradoks Olber, mengapa langit gelap kalau ada demikian banyak bintang.
Baca juga: Minum Jus Buah Setiap Hari Belum Tentu Sehat
Dari hasi penelitian ini, kita bisa mengetahui ada kelimpahan galaksi di alam semesta. Bahkan setiap petak langit diisi oleh potongan-potongan galaksi. Keren kan! Meskipun demikian, cahaya bintang dari galaksi yang sedemikian banyak itu tidak tampak oleh mata manusia dan teleskop moden karena penyerapan cahaya oleh gas dan debu antar galaksi maupun efek pemerahan oleh pemuaian alam semesta.
Jadi.. kesimpulan apa yang kita punya? Saat ini jumlah galaksi sudah kurang dari dua triliun akibat bergabungnya galaksi-galaksi dalam evolusi alam semesta. Dan ternyata… langit tetap gelap meskipun ada triliunan galaksi di langit.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR