Pria yang rambutnya mulai memutih itu bergerak perlahan menjejaki tanah yang menanjak di Gunung Gede, Jawa Barat. Walau lambat, irama langkahnya konstan tanpa henti. Sudah hampir satu jam ia menapaki jalan setapak di medan yang terjal, namun tak sekali pun berhenti untuk melepas lelah.
Teman-temannya yang mengiringi langkahnya menanyakan apa ia mau beristirahat? “Lanjut! Istirahatnya sambil jalan saja,” jawabnya sambil tersenyum.
Pria itu adalah Muhamad Gunawan (59 tahun), yang kerap disapa dengan panggilan Ogun. Salah seorang pendaki gunung legendaris yang dimiliki Indonesia. Ogun sudah banyak makan asam garam soal pendakian gunung.
Pengalamannya panjang, banyak gunung di Indonesia dan di belahan lain dunia sudah ia daki. Kegilaannya mendaki gunung bertambah sejak ia bergabung dalam perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung, Wanadri, di Bandung puluhan tahun silam.
Namun kini, kanker Nasofaring stadium empat menggerogoti tubuhnya. Sejak setahun lalu langkah kakinya bukan menjejaki tanah hutan nan basah, melainkan bangsal dan ruang periksa rumah sakit untuk menjalani terapi.
Sebelum kanker datang, tubuhnya gempal, berotot dan berisi. Gerakannya gesit dan sigap. Namun kanker mengubahnya seketika. Gerakannya melambat, berat badan turun lebih dari 20 kg. Tubuhnya pun menciut. Dulu tinggi badannya 158 cm, kini hanya 156 cm dengan berat badan 52 kg. Ia terlihat mungil.
Tapi jangan salah, di balik tubuhnya yang mungil terdapat impian yang besar, ia ingin menaklukan puncak Everest di Himalaya dalam kondisi kesehatannya sekarang ini. Kanker malah melecutnya untuk menunaikan cita-citanya yang tertunda untuk menggapai Everest.
Tahun 1994 ia bergabung dengan tim Internasional untuk mencapai Everest. Sayangnya, impiannya harus kandas. “Badai!” Ogun menceritakan kegagalannya pada tahun itu. “Semuanya waktu itu tidak muncak.”
Tiga tahun kemudian, pada 1997, ia menjadi salah satu pendaki gunung bersama anggota Kopassus yang bergabung untuk pertama kalinya di Tim Everest Indonesia.
Namun ia kembali gagal menggapai puncak Everest yang tinggal berjarak 200 meter saja. Saat ditanya mengapa gagal mencapai puncak? Ia menjawab:
“Sebetulnya badai juga tuh, 200 meter sebelum puncak,” begitu kenangnya. Alasan lainnya karena tim lainnya yang melalui jalur selatan sudah mencapai puncak terlebih dahulu. Karena tim memang dibagi dua, tim yang melalui jalur selatan dan yang melalui jalur utara. Ia diperintahkan turun oleh ketua tim ekspedisi.
“Itu keputusan ketua tim ekspedisi dari Kathmandu,” ujarnya. “Ya waktu turun sih, karena memang kondisinya tidak memungkinkan akhirnya turun saja. Tapi bahwa turun itu terus kemudian harus pulang, nah itu yang bikin aduh shock nih!”
Tak ada kemungkinan untuk mendaki ulang Everest, meski persedian logistik masih banyak dan porter-porternya bagus. Sebenarmya tak masalah kalau mendaki ulang. Tapi sudah ada yang menjemput di Katmandu, mereka ditunggu untuk segera pulang ke Indonesia.
“Sudah nongkrong dua pesawat,” kenang Ogun.
Pengalaman gagal ke puncak yang kurang 200 meter membekas di hatinya. “Bisa membuat anda terbangun di tengah malam dan seperti orang gila,” begitu ujar Ogun dalam acara diskusi di Outfest baru-baru ini di Jakarta. Betapa sulitnya untuk menggapai puncak Everest dan dilepas begitu saja ketika kesempatan itu ada, jelas membuat penasaran.
Ketika terapi pengobatan kanker sedang berjalan, ia kemudian berpikir tentang apa yang sudah pernah ia lakukan? Ternyata tak banyak. Tak ada tinggalan untuk masyarakat dan lingkungan, bahkan bukupun tak pernah ia buat walaupun banyak puncak gunung sudah ia jejaki.
Tercetuslah ide jika masih diberi kesempatan umur panjang ia ingin berbuat sesuatu. Bagaimana kalau naik Everest lagi? Akhirnya mulailah ia melatih fisik. Karena kanker ini telah melemahkan fisiknya. Ototnya melemah, kecepatannya pun menurun, bahkan kemampuan penglihatan pun menurun.
Ogun kembali menapaki gunung-gunung di Indonesia. Sedikitnya sudah lima gunung sudah dia daki dalam beberapa bulan ini. Yang terakhir adalah Gunung Gede tanggal 8-9 April 2017 yang lalu. Ia bersama teman-teman yang mendukungnya melakukan try out untuk ke puncak Gede.
Kegiatan kembali mendaki gunung ini diharapkan bisa menjadi obat kanker baginya. Semua tahapan kemoterapi dan radiasi sudah ia lewati. Sekarang ia mencegah agar kanker tidak berkembang lagi.
“Menjadi buat terapi, mudah-mudahan bisa,” begitu harapan Ogun.
Ia juga berharap kegiatannya untuk mencapai Everest memberi inpirasi kepada masyarakat luas agar jangan pernah menyerah terhadap penyakit yang diderita.
Bersama teman-temannya ia kemudian membentuk organisasi kecil yang diberi nama ORTE, singkatan dari Ogun Roads to Everest. Tujuannya untuk mendukung rencana Ogun ke Everest sekaligus meningkatkan kepedulian masyarakat luas untuk tidak menyerah terhadap kanker.
Tanggal 13 April 2017 ini, Ogun akan terbang ke Nepal. Di sana, selama 20 hari ia akan berusaha menaklukan dua puncak gunung yaitu, Yala Peak (5520mdpl) dan Naya Kanga Peak (5844mdpl). Ini bagian dari tahapan untuk bisa mendaki Everest.
Semoga sukses, Kang Ogun!
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR