Perjuangan Raden Ajeng Kartini di masa lalu sukses menghasilkan pemimpin perempuan Indonesia yang telah membuktikan kiprahnya dalam berkarya di negeri tercinta maupun di tingkat internasional, salah satunya dalam sektor atau komoditas sawit.
Dalam rangka menyambut Hari Kartini, empat perempuan hebat Indonesia yang aktif terlibat dalam komoditas sawit berbagi buah pikiran dan berdiskusi mengenai tantangan dan peluang mewujudkan sawit yang berkelanjutan di Indonesia pada kesempatan jumpa pers dan diskusi sawit berkelanjutan yang diadakan oleh IDH-The Sustainable Trade Initiative bersama Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
Seperti yang kita ketahui, komoditas sawit merupakan primadona bagi Indonesia sekaligus dalam perdagangan global. Dengan tingkat produktivitas global yang relatif tinggi serta pangsa pasar dan kontribusi sawit di perdagangan minyak nabati dunia meningkat dari 26 ke 42 persen sejak tahun 1980 ke 2014 – komoditas sawit tetap tidak dapat lepas dari sorotan dunia, terutama yang terkait dengan aspek keberlanjutan (sustainability) dengan dampaknya terhadap hutan dan gambut, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan kesejahteraan petani kecil.
Selain dampak-dampak tersebut, membicarakan sawit berkelanjutan/lestari akan timpang jika analisa gender belum digunakan dalam proses penerapannya. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam perkebunan sawit merupakan salah satu aspek penting yang belum cukup mendapatkan perhatian berbagai pihak. Berbagai isu yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai masih sedikitnya informasi tentang bagaimana dampak tata kelola sawit pada perempuan, bagaimana pemenuhan hak atas petani sawit/pekerja sawit perempuan saat terjadi transfer lahan untuk sawit, serta perlakukan terhadap pekerja perempuan di perkebunan sawit.
Diskusi panel yang digelar hari ini mengangkat tema “Percepatan Penerapan Sawit Berkelanjutan: Tantangan dan Peluang di Indonesia”, dan menggarisbawahi bahwa penerapan sawit berkelanjutan di Indonesia telah dan akan terus membantu mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan, mencegah deforestasi dan konversi gambut, sekaligus memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST2013) mengungkap fakta menarik, sekitar 23 persen atau 7,4 juta petani di Indonesia adalah perempuan. Dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) juga berfokus pada pencapaian kesetaraan gender yang memberdayakan seluruh perempuan, menghentikan diskriminasi terhadap perempuan di mana pun, mengeliminasi segala bentuk kekerasan pada perempuan dalam lingkup publik maupun pribadi, termasuk perdagangan, kekerasan seksual dan segala macam bentuk eksploitasi lainnya.
“Kritikan global terhadap Indonesia bisa dilihat dari kacamata positif perempuan Indonesia yang ingin membangun generasi selalu baik, dan bahwa Indonesia yang bisa memberikan banyak dampat terhadap perdagangan global selalu berbenah diri untuk perbaikan di berbagai aspek produksi minyak sawit dan komoditas unggulan lainnya”, ujar Tiur Rumondang dari Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sedangkan Diah Suradiredja dari Kehati/ISPO menuturkan, “Masih banyak tantangan untuk membangun aspek berkelanjutan dalam ISPO, apalagi ada indikasi 3,5 juta hektar kebun kelapa sawit di kawasan hutan. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui memadukan pendekatan lanskap dan peninjauan lapangan secara serius yang merangkum penilaian keanekaragaman hayati sekaligus mekanisme penyelesaian legalitas lahan dan penegakan hukum”.
Nurdiana Darus dari Rainforest Alliance menyampaikan bahwa usaha untuk mencapai kelapa sawit keberlanjutan tidak mungkin dapat tercapai tanpa peran pemerintah, terutama pemerintah daerah. Kolaborasi antara para pengusaha kelapa sawit dengan donor dan organisasi masyarakat sipil hanya bisa mencapai kesuksesan bilamana program-program tersebut dikomandani oleh pemerintah.
"Pemerintah daerah mempunyai peran utama dalam tercapainya target pembangunan yang berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dan kami melihat pergerakan yang sangat positif dengan adanya delapan kabupaten dari Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi yang telah mempelopori terbentuknya Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dimana target utama platform tersebut adalah tercapainya pembangunan berimbang antara aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan,” katanya.
Sementara itu, Desi Kusumadewi dari IDH-The Sustainable Trade Initiative mengungkapkan, “Pendekatan yuridiksi yang dipimpin pemerintah dan didukung oleh seluruh aktor di sepanjang rantai pasok, termasuk pasar, institusi keuangan dan LSM, menciptakan kekuatan yang luar biasa untuk menjadikan yuridiksi tersebut sebagai Verified Sourcing Area minyak sawit berkelanjutan di dunia, sekaligus meraih kesempatan untuk peningkatan perekonomian, kesejatheraan petani dan perlindungan lingkungan."
Melihat sudut pandang yang disampaikan oleh keempat tokoh perempuan pada diskusi ini, masih banyak tantangan kedepan yang harus dibenahi oleh seluruh pihak yang terlibat dalam sektor sawit khususnya dalam upaya penerapan sawit berkelanjutan yang pada akhirnya dapat mengusung kesetaraan dan keadilan gender. Diskusi ini diharapkan juga dapat dijadikan sebagai wadah ‘call for action’ bagi multistakeholders sawit, baik perusahaan, NGO dan pemerintah untuk memaksimalkan upaya membiasakan kesetaraan dan keadilan perempuan dalam percepatan penerapan sawit berkelanjutan.
Langkah-langkah yang sudah dan sedang dilakukan oleh Kartini-Kartini Indonesia di sektor sawit ini sedikit banyak telah mampu memperlihatkan opsi solusi bagi pengembangan sawit yang ramah lingkungan dan sosial di Indonesia serta sebagai bentuk nyata upaya apresiasi bagi petani dan pekerja perempuan di sektor sawit Indonesia.
Pada akhirnya, upaya-upaya ini diharapkan dapat membantu komoditas tersebut menjadi sangat produktif dan membawa nilai tambah, tetapi juga berkontribusi terhadap perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR