Ketika pertama kali mendengar kalimat ‘Sekolah Mangrove’, apa yang sahabat pikirkan?
Sabtu 29 Juli 2017, National Geographic Indonesia berkesempatan ikut bersama tim Pertamina RU VI Balongan untuk menyaksikan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) mereka yang bernama ‘Eco-Outbond Aku Sahabat Mangrove’ di hutan mangrove Karangsong.
Setelah menyeberangi Sungai Praja Gumiwang dan melewati penanda kawasan ‘KARANGSONG’ yang dibuat seperti tulisan Hollywood, akhirnya rombongan saat itu tiba di hutan mangrove Karangsong.
Tujuan utama kami adalah Arboretum Mangrove Karangsong yaitu semacam kebun botani yang mengkoleksi pepohonan dan berupaya untuk melestarikan ekosistem, dengan mengumpulkan dan menjaga jenis serta plasma nutfah yang berada pada suatu lokasi yang terkontrol, dan bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Saat mengetahui bahwa peserta utama kegiatan Eco-Outbond Aku Sahabat Mangrove adalah empat Sekolah Dasar Negeri (SDN) perwakilan dari Sekolah Mangrove, kami yang saat itu belum tahu pun bertanya-tanya. Apa sebenarnya Sekolah Mangrove itu?
Sekolah Mangrove ternyata adalah sekolah yang menerapkan dan menanamkan budaya mangrove kepada peserta didik dan melakukan penanaman mangrove di lingkungan sekolahnya. Kegiatan Sekolah Mangrove telah dimulai sejak 20 Juli 2016 hingga sekarang. Berawal hanya dari empat sekolah saja yaitu, SDN 1 Karangsong, SDN 1 Pabean Udik, SDN Unggulan Indramayu dan Sekolah Menegah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Balongan, kini jumlah tersebut terus meningkat.
Sekolah-sekolah yang telah terpilih menjadi Sekolah Mangrove berasal dari kecamatan-kecamatan yang memiliki garis pantai yang panjang.
“Kami bersepakat bahwa kurikulum hutan mangrove ini masuk ke dalam pembelajaran di sekolah-sekolah khususnya SD dan SMP, (hal itu dilakukan) agar mereka sadar bahwa lingkungan ini perlu dijaga dan mereka harus mengenal lingkungan mereka sendiri.” Jelas Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Indramayu, Jahirin yang saat itu berkesempatan hadir untuk memenuhi undangan meresmikan acara.
Singkatnya, penerapan Sekolah Mangrove terdapat pada penambahan Muatan Lokal (Mulok) di sekolah selama dua jam pelajaran. Selain itu juga mangrove akan masuk ke dalam setiap kegiatan sekolah baik intrakulikuler, kokulikuler ataupun ekstrakulikuler. “(Diharapkan) anak-anak lebih terkonsentrasi, lebih menggali dan lebih banyak mengerti disamping kurikulum yang sedang digunakan yaitu 2013 kan tematik sehingga terpadu. Jadi (materi mangrove) bias masuk ke Ilmu Pengetahuan Alam ataupun Bahasa Indonesia.” Lanjut Jahirin.
Meskipun telah memiliki ide seperti Sekolah Mangrove sejak 1985 dan mencobanya ketika digandeng oleh LSM dari Kanada, Jahirin mengaku bahwa saat itu manuver yang dirasakan kurang menggigit dan kuat, sehinnga program tidak berlanjut. Dengan bantuan Pertamina dan kesiapannya dalam memfasilitasi, Jahirin merasa yakin dengan Sekolah Mangrove saat ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR