Saya hanya bisa melongo sewaktu mendengar penjelasan dari Eka Nugraha dalam diskusi pagi itu. Dia yang hadir bersama Darmawan Budi Prihanto dan Arieffian Eko Kurniawan itu memberikan keterangan rencana perjalanan kami dan sesekali menunjukkan foto yang sudah mereka dapatkan dari lapangan.
“Nah, (foto) ini diambil di Dowan. Batunya ada di tengah jalan dan kiri-kanannya adalah rumah penduduk,” kata Eka, Senior Geoscientist dari Pertamina Hulu Energi, salah satu anak perusahaan PT. Pertamina (persero) yang mengurusi bisnis di bagian hulu industri migas kita.
Eka menunjuk foto yang terpampang di layar proyektor di muka ruang diskusi. Melihat kondisi itu, saya langsung berpikir, kalau batu itu lenyap disapu oleh aspal jalan warga, kemana lagi para ahli geologi yang kerjanya cari sumber minyak baru itu mencari lokasi latihan?
Pagi itu, kami berkumpul di dalam salah satu ruang rapat di kantor Pertamina Hulu Energi. Suasana diskusi begitu santai, jauh dari kesan serius. Saya ditemani oleh Yul Prasetyo, rekan fotografer yang biasa blusukan ke pelosok. Lalu, para ahli geologi tadi didampingi oleh Ifki Sukarya dan Ekhsan Nulhakim dari bagian Relations Pertamina Hulu Energi.
Agenda diskusi itu tunggal, membahas rencana perjalanan latihan lapangan tim eksplorasi perusahaan ke wilayah Rembang, Cepu, Blora, dan sekitarnya di Jawa Timur. Rencananya, kegiatan akan berlangsung pada 22 – 25 Oktober. Memenuhi ajakan Ifki, kami memutuskan bergabung dalam acara yang bertajuk “Unravel Petroleum System of Rembang Zone” itu.
“Kami menyebutnya field work. Karena harga minyak pernah turun drastis beberapa tahun lalu, kami diminta perusahaan untuk tetap melakukan eksplorasi dan latihan lapangan dengan inovasi. Ya, akhirnya kami berpikir kenapa kami nggak buat sendiri field work itu,” kata Eka menjelaskan kepada kami. Saat harga minyak bumi di pasar dunia anjlok, industri hulu migas sudah pasti terkena imbas. Efisiensi terjadi di seluruh sektor. Meski demikian, perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk tetap melakukan eksplorasi dan latihan lapangan, dengan sejumlah inovasi (tentu, dalam hal anggaran biaya).
Dari hasil inovasi itu, tim eksplorasi memberanikan diri mengajukan proposal kepada pimpinan mereka untuk menggelar acara yang dikelola sendiri. Istilah mereka, tak ada event organizer buat menggelar kegiatan. Panitia bekerja dari hulu ke hilir, mulai dari menentukan tema, menjadi narasumber, mengatur keuangan, hingga membeli tiket transportasi dan mengelola logistik. Capek? Sudah pasti. Tapi, mereka bahagia lantaran upaya keras itu dapat acung jempol dari ahli geologi senior dan pimpinan.
Itu sebabnya, saat berjumpa dengan saya, Eka dan rekan-rekannya begitu bersemangat. Dia menunjukkan perjalanan field work yang pernah mereka gelar dan rencana kegiatan berikutnya. Mendapat penjelasan komplet itu, saya cuma berpikir sederhana, kemana lagi mereka harus latihan cari minyak kalau tempatnya sudah tergusur oleh beragam faktor?
“Betul sekali perihal lahan latihan lapangan bagi geologist dalam mengenal geologi di permukaan semakin tahun semakin berkurang terutama di Jawa,” ujar Eka dalam kesempatan terpisah. “Sementara perguruan tinggi dan institusi untuk ahli kebumian justru banyak terdapat di Jawa.”
Buat Eka, Darmawan, dan Arieffian, lahan latihan lapangan bagi mereka sebagai bagian dari ahli kebumian saat ini makin terasa berkurang. “Pada field work sebelumnya di area Sukabumi mereka ingin berlatih untuk melihat batuan berumur Paleogen Formasi Walat yang dulu punya singkapan di Gunung Walat, yang ada di dekat Cibadak, Sukabumi. Pada awal tahun kemarin singkapan itu sudah hampir habis karena aktivitas penambangan,” Eka melanjutkan cerita.
Untunglah, dalam wilayah itu, terdapat bekas lahan tambang PT. Holcim yang telah direhabilitasi dan dijadikan hutan pendidikan. PT. Holchim mengembangkan hutan ini bekerja sama dengan sejumlah universitas untuk didedikasikan pada penelitian lapangan, baik perhutanan, jurusan biologi maupun geologi. “Jadi, di sini kita masih bisa ketemu beberapa singkapan dan tetap dijaga oleh pengelola dari pihak PT. Holcim,” kata Eka.
Ahli geologi sendiri bukannya berpangku tangan. Mereka juga bergerak mendorong sejumlah wilayah memiliki status sebagai cagar edukasi lapangan melalui skema taman bumi (geopark). Eka pun memberikan contoh, misalnya Ciletuh Geopark di perbatasan Sukabumi – Bayah (Banten), Karang Sambung di daerah Kebumen, Padalarang Stone Garden, Bayat dan lainnya.
Konservasi geologi itu biasanya dikelola oleh institusi pemerintah seperti LIPI bekerjasama dengan pemerintah daerah dan instistusi perguruan tinggi. Selain area konservasi edukasi, beberapa lahan tersebut juga dijadikan sebagai kawasan wisata (Padalarang Stone Garden).
Namun, proyek pembangunan juga tidak selamanya membuat area latihan geologist di lapangan menjadi semakin terbatas. Adakalanya, kata Eka, justru pembangunan membantu ahli geologi menemukan singkapan baru, misalnya cut and fill (pengupasan) area pembangunan jalan raya. Batuan yang awalnya telah tertutup vegetasi dan lapuk, menjadi terbuka dan oleh proyek tersebut, sehingga geologist dapat mengobservasi batuan dengan baik. Aktivitas penambangan juga dapat membantu batuan yang tertutup vegetasi menjadi tersingkap. “Tapi, aktivitas penambangan yang berkelanjutan akan kembali menghilangkan singkapan batuan tersebut,” pungkas Eka.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR