Kulitnya legam, pertanda terpapar sinar ultraviolet mentari dalam intensitas waktu yang lama. Usianya telah melewati paro baya, tetapi gerakannya tetap lincah. Produk tembakau senantiasa menemaninya sewaktu berbincang dengan siapa saja. Ia bertutur sapa dengan ramah. Bahkan, ia tak ragu menyisipkan humor di antara kisah panjangnya.
Kami berkumpul di kolong hunian panggung yang terbuat dari kayu. Atap dan dinding rumah tersusun atas daun kelapa yang sudah kering. Matahari nyaris tepat berada di atas kepala. Panas yang timbul dari gelombang ultraviolet itu seakan mampu menembus kulit yang sudah berlapiskan krim pelindung.
Safei tak peduli pada mentari siang itu. Dia duduk di tepi tonggak rumah, beralaskan pasir putih yang bercampur dengan cangkang biota laut, plastik, dan sisa ikan yang telah mengering. Sesekali ia mengisap rokoknya, sembari mengatur cerita.
Rekan saya, Sanovra Jr telah lebih dulu menjadi pendengar yang baik. Di dekat juru foto harian Tribun Timur itu, ada M. Husain Suardy, yang ikut mengambil gambar untuk stasiun televisi nasional. Ada pula Asri, staf Taman Nasional Taka Bonerate yang bertugas sebagai pengendali ekosistem hutan.
Mereka sesekali terbahak. Kadangkala Sanovra melontarkan pertanyaan pancingan yang membuat kisah menjadi tambah panjang. Saya yang baru menginjakkan kaki di atas pasir panas buru-buru menyambangi mereka. Saya datang bersama Ekho Ardiyanto yang menjadi tenaga visual lepas untuk beberapa stasiun televisi. Sementara itu, Ngakan Putu Oka, profesor dari Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin juga ikut berkumpul. Dia duduk di atas panggung rumah.
“(Pulau) Ampalas ndak ada penghuninya. Karena pasirnya biking gatal. Banyak setan di sana,” Safei meneruskan kisah. Dia pantas kami dengarkan bila ingin tahu bagaimana permukiman sementara di atas pasir putih Bungin Belle itu berdiri. Tempat ini menjadi persinggahan nelayan Bajo asal Pasitallu Timur, salah satu pulau dalam taman nasional yang berada di bagian selatan. Sebagai tokoh masyakarat Desa Khusus Pasitallu, Safei kerap diminta untuk mengisahkan kembali keterkaitan antara Bungin Belle dan Pasitallu Timur.
“Saya pernah ditinggalkan Bapak melaut di sana (Ampalas). Saya hanya bersama mamak,” sebut Safei. Selama ayahanda pergi mencari ikan, Safei mendengarkan cerita ibunda di dalam pondok kayu sementara yang beratapkan daun kelapa. Waktu itu, sang ibu bercerita soal makhluk tak kasat mata yang ada di lautan. Kisahnya beragam, tapi yang pasti cerita seram itu berbungkus kehidupan laut.
“Mamak tanya ke saya, ‘kamu takut ndak?’ Saya cuma bilang, kalau mamak takut, ya saya juga takut. Tapi, kalau ndak (takut), saya juga berani.”
Tak berapa lama, Safei dan ibu seperti mendengar orang berbicara. Kontan, bulu kuduknya naik. “Saya yakin betul ada orang berbicara. Mereka ndak cerita pakai bahasa Indonesia atau Bajo. Ndak tau bahasa apa itu,” cerita Safei dengan bersemangat.
Ketika itu, usia Safei baru delapan tahun. Lalu, mereka memberanikan diri keluar pondok. “Mamak membakar rumput kering dan api membesar.” Rupanya, tak seberapa lama, sang bapak tiba kembali di Ampalas. “Bapak akhirnya datang dari Masamba (wilayah Luwu Utara),” sebut Safei.
“Waktu itu, tahun berapa, Pak?” tanya Sanovra.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR