“Menurut dia, alasan yang paling besar adalah adanya pemburu lain yang ikut berpartisipasi. Jadi mereka berebut lahan. Kalau sepekan 10, setahun ada 520 bekantan yang dia tembak. Itu baru satu orang. Belum pemburu lain,” kata Abdurahman.
Peneliti WWF, Chairul Seleh, bercerita bahwa pihaknya pernah menangani landskap di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat seluas 19.000 ha.
Di sana terdapat 50 titik perjumpaan bakantan. Namun, terjadi penurunan populasi sebesar 50 persen dalam 10 tahun terakhir akibat perburuan.
“Kami dengar ada yang melakukan perburuan bekantan di Kubu Raya. Ada juga temuan dari landskap Kubu Raya, ternyata daging bekantan itu jadi umpan yang efektif untuk berburu labi-labi,” kata Chairul.
Menanggapi fenomena itu, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, mengatakan akan segera meninjau ke lapangan dan melakukan sosialisasi status perlindungan bekantan.
Untuk itu, dia akan bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan pihak kepolisian.
“Bahaya sekali karena jumlahnya besar. Bekantan seperti ditinggalkan. Kita harus gerak cepat,” kata Wiranto.
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Mengenal Bekantan, Primata Asli Borneo yang Sedang Melawan kepunahan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR