Pernahkah Anda membayangkan kemangi, kubis, selada, dan lalapan mentah lainnya yang disajikan bersama nasi, sambal, ayam goreng, atau ikan bakar di atas meja makan dicemari oleh telur cacing yang membahayakan kesehatan.
Ini terjadi karena sayur tidak dimasak, tidak dicuci sampai bersih, dan manajemen pengangkutan sayur tidak higienis. Salad, hamburger, sandwich, kebab, dan steak juga menggunakan selada mentah.
Fakta pencemaran itu benar-benar ada tapi jarang dipikirkan oleh pelahap lalapan mentah, pengusaha kuliner, pedagang sayur, petani, dan juga Kementerian Kesehatan.
Yang lebih mencemaskan, sedikit sekali peneliti Indonesia yang menyelidiki kemungkinan sayur tercemar oleh telur cacing berbahaya. Saya melakukan riset pustaka tentang penularan cacing melalui sayuran terhadap 4 jurnal Indonesia dan 22 jurnal internasional yang terbit dalam empat tahun terakhir, serta referensi yang relevan. Selain Indonesia dan Malaysia, jurnal-jurnal tersebut juga memuat hasil riset dari Iran, Mesir, Sudan, Ethiopia, Vietnam, Pakistan, dan Nigeria.
(Baca juga: Bagaimana Kotoran Manusia dalam Ekspedisi Jalur Sutera Sebarkan Wabah Penyakit?)
Dari riset pustaka itu, saya mendapatkan informasi bahwa setidaknya ada telur 16 spesies cacing yang ditemukan di berbagai macam sayuran di negara-negara tersebut. Satu riset terhadap pedagang ikan bakar di Kota Palu, Sulawesi Tengah menemukan 39,8% dari 93 sampel daun kemangi tercemar telur cacing Soil-Transmitted Helminth (STH). Begitu juga riset perbandingan Indonesia (Pasar Tanjungsari dan Pasar Jatinangor Sumedang) dan Malaysia menemukan adanya pencemaran telur cacing pada kubis dan selada yang dijadikan sampel.
Saya menelaaah hasil riset peneliti lain yang telah dipublikasikan, bukan riset terhadap fisik sayur.
Sayuran dan buah-buahan merupakan bagian penting untuk mewujudkan terpenuhinya gizi seimbang bagi tubuh. Tapi hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan 93,5% penduduk berusia di atas 10 tahun mengkonsumsi jumlah sayuran dan buah-buahan di bawah anjuran Kementerian Kesehatan.
Tak hanya banyaknya sayur, yang juga penting apakah sayur yang kita konsumsi bebas dari cacing yang membahayakan tubuh. Lalapan bisa menjadi medium penularan telur cacing ke manusia. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, infeksi cacing merupakan masalah kesehatan yang serius dan belum diselesaikan tuntas.
Sayur merupakan sumber mineral, serat, dan vitamin yang diperlukan oleh tubuh kita. Setidaknya kita tahu bahwa rajin makan sayur dapat memperlancar buang air besar. Kandungan fitokimia di dalam sayur dapat mencegah kanker dan kerusakan sel akibat radikal bebas.
Karena itu, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), yang digencarkan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek pada 2017, mendorong masyarakat Indonesia untuk menyediakan sayur dan buah dalam menu makanan setiap hari. Pemerintah menganjurkan makan sayur tidak harus yang dibeli dengan harga mahal tapi dapat memanfaatkan sayur lokal di pasar terdekat.
Banyak manfaat dari sayur tapi ada satu misteri yang belum banyak terungkap di Indonesia, yaitu penularan telur cacing melalui konsumsi sayur. World Health Organization (WHO) menyatakan telur cacing selain ditularkan melalui tanah yang menempel di tangan dan tidak dicuci bersih juga dapat ditularkan melalui sayur yang tidak dimasak, dimakan mentah (lalapan), dan tidak dicuci bersih.
Infeksi cacing STH dapat menyebabkan gejala nyeri perut, mual, hilang nafsu makan, diare, dan anemia. Bila dibiarkan dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak dan turunnya status gizi. Pada kasus fatal infeksi askariasis, cacing dewasa Ascaris dalam jumlah banyak dapat memenuhi isi usus dan dapat keluar melalui mulut atau anus.
Selama ini saya mempelajari bahwa sayur yang tercemar tanah kebun akan banyak dijumpai telur cacing kelompok STH tersebut seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, dan Strongyloides stercoralis.
Telur spesies ini pasti ada karena dikeluarkan bersama feses penderita saat membuang air besar sembarangan.
Dari hasil eksplorasi hasil penelitian, saya tidak menyangka juga menemukan telur lain seperti telur cacing Taenia (26%), Fasciola (83,33%), telur cacing Clonorchis sinensis (16,67%), telur Toxocara (14,7%), dan telur Hymenolepis nana (8,3%).
Dari penemuan itu, saya mempelajari lebih dalam mengapa dapat ditemukan telur lain seperti itu. Saya mencoba menggunakan hospes (makhluk hidup yang dapat membawa parasit cacing) dan siklus hidup dari cacing tersebut untuk memperkirakan asal-usul telur hingga menempel pada sayur. Kesimpulannya, perpindahan (transportasi) dan manajemen sayur dari produsen ke konsumen, penggunaan pupuk hewan, dan cemaran dari hewan menyebabkan munculnya telur cacing lain selain STH.
Telur cacing Toxocara dapat ditularkan melalui feses kucing dan anjing, telur cacing Taenia ditularkan melalui feses hewan sapi dan babi, dan telur Hymenolepis nana melalui feses tikus. Keberadaan vektor serangga lalat juga dapat membawa telur cacing.
Data penelitian cemaran telur cacing di sayur di Indonesia masih sedikit. Bila keadaan ini dibiarkan mungkin saja kita akan mendapatkan nol data. Mengapa bisa terjadi? Beberapa ilmu saling overlapping walau sama-sama mempelajari cacing (helminth). Fakultas kedokteran tidak bisa disalahkan juga karena prioritas sehari-harinya adalah diagnosa feses pasien. Kedokteran hewan lebih banyak mencurahkan pemeriksaan feses hewan, dan program studi ilmu non-kedokteran seperti biologi, pangan, dan lingkungan tidak semuanya mempelajari parasit cacing.
Referensi sayur yang tercemar telur cacing di Indonesia juga sangat sedikit, masih berkutat pada selada, kemangi, dan kubis. Sayur ini memang dikenal sebagai lalapan yang sering dikonsumsi orang dalam menu mie, tahu campur, nasi goreng, ayam goreng, ikan bakar, dan lain-lain. Menu makanan khas luar negeri seperti hamburger, salad, sandwich, kebab, dan steak juga memanfaatkan selada.
Penelitian di negara lain menyatakan sayur bayam, lobak, dan peterseli memiliki angka yang cukup tinggi tercemar telur cacing. Bila fakta ini kita biarkan akan menularkan penyakit kepada orang yang mengkonsumsinya.
Upaya mencegah cemaran telur cacing di sayur harus segera kita lakukan karena sayur menu makanan kita sehari-hari. Apalagi iklim di Indonesia strategis untuk tumbuhnya parasit cacing.
Program pencegahan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat. Produsen, pengusaha kuliner, dan konsumen juga harus terlibat memutus rantai penularan parasit cacing.
Penyajian kuliner dan membangun bisnis kuliner juga harus dibarengi dengan pengetahuan dasar penyakit dari kuliner. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia perlu diajak bersama dalam program memutus penularan telur cacing melalui sayuran. Kementerian Kesehatan dapat mengumpulkan perhimpunan dan asosiasi bidang kuliner untuk memberikan seminar, pelatihan, dan sertifikasi makanan dan dapur higienis.
(Baca juga: Osedax si Cacing "Zombie" Pemakan Tulang Paus)
Kementerian Pertanian juga harus membina pengusaha, petani, dan pedagang sayuran untuk memastikan bahwa setiap proses pergerakan sayur, dari menanam hingga sampai dibeli dan atau dikonsumsi oleh masyarakat, telah memenuhi kriteria higienis, sehat, dan bebas cacing. Mereka perlu mendapatkan pengetahuan agar tidak membuang feses sembarangan, sayuran tidak berkontak dengan pupuk hewan maupun hewan pembawa telur cacing, seperti kambing, sapi, babi, tikus, anjing, dan kucing.
Saya berpikir perlu ada perhimpunan pemerhati kesehatan makanan dari sisi parasitologi. Cacing cestoda usus, cacing trematoda usus, Toxoplasma, dan Protozoa usus merupakan kelompok parasit yang dapat menular melalui sayuran, daging, susu, telur, dan makanan lainnya. Media iklan dan program televisi memasak juga dibutuhkan untuk menyebarkan promosi dan perilaku kesehatan yang baik dalam penanganan dan mencuci sayur.
Cara mencuci sayur untuk menghilangkan kontaminasi telur cacing adalah mencuci sayur dengan air yang mengalir (kran) dan mencucinya lembar per lembar. Cara mencuci yang harus dihindari adalah mencucinya di baskom karena ada risiko telur cacing di dalam air akan menempel di sayuran lain yang akan dicuci. Sayur juga harus dicuci lembar demi lembar daun karena pengalaman penulis pernah menjumpai tanah menempel di sela-sela daun.
Upaya ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sebab setelah membaca artikel ini kita pasti akan makan. Perlu Anda bertanya pada diri sendiri: apakah sayur yang saya makan sudah terbebas dari kontaminasi telur cacing?
Hebert Adrianto, Dosen Parasitologi, Universitas Ciputra
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR