Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, BBM, Line, Whatsapp, Instagram, dan sejenisnya sudah menjadi kebutuhan sosial masyarakat Indonesia. Penelitian kami tentang Instagram menemukan indikasi bahwa bagi sejumlah besar pengguna, media sosial bisa meningkatkan rasa cemas dan marah, juga lebih rawan menggerogoti harga diri pengguna.
Instagram digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sejak diluncurkan hingga saat ini. Dari hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016, pengguna Instagram (19,9 juta atau 15%) menempati peringkat kedua sebagai media sosial yang paling sering dikunjungi setelah Facebook (71,6 juta atau 54%). Dua media sosial ini paling banyak digunakan untuk menampilkan diri mereka secara online dalam berbagai bentuk.
Penelitian kami berfokus pada pengguna media sosial Instagram dalam menampilkan dirinya secara online. Instagram, platform populer yang digunakan oleh remaja akhir hingga orang dewasa, dapat diakses melalui perangkat berbasis Android dan iOs serta mesin pencari.
Kami menganalisis tiga hal yang saling berkait pada pengguna Instagram:
harga diri yang bergantung pada persahabatan (friendship-contingent self-esteem)
kecemasan ketinggalan informasi di media sosial (fear of missing out atau FoMO)
dan bagaimana dua hal di atas berpengaruh pada presentasi diri (self-presentation).
Partisipan penelitian 326 orang, dengan 241 perempuan dan 85 laki-laki pengguna Instagram yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Kami mengumpulkan data melalui penyebaran, pengisian, dan pengumpulan kuesioner bersifat sukarela melalui tautan dengan media Google form yang disebar melalui pesan dan jejaring media sosial.
(Baca juga: Foto Instagram Mampu Ungkap Depresi Seseorang)
Beragam layanan yang ditawarkan di Instagram, mulai berbagi foto aktivitas sehari-hari, video, InstaStory, Instagram Live, komentar, sampai chatting menggunakan fitur direct message. Ada pula fasilitas editing foto yang diunggah. Bisa juga untuk mencari teman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang berpengaruh pada variabel presentasi diri hanya FoMO. Sedangkan variabel harga diri yang bergantung pada persahabatan berpengaruh pada variabel FoMO dan tidak berpengaruh terhadap presentasi diri.
Berbagai macam cara dilakukan oleh para pengguna untuk meningkatkan penampilan dalam setiap unggahan mereka. Mulai dari menambahkan filter pada foto, angle serta gaya yang menarik merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan penampilan seseorang pada unggahan foto Instagram mereka.
Beberapa hal tersebut meningkatkan jumlah unggahan selfie atau swafoto para pengguna Instagram. Bagi kaum dewasa muda yang tumbuh dengan platform seperti ini membuat mereka memiliki pandangan bahwa berpose dan berfoto lalu mengunggahnya ke Instagram merupakan suatu hal yang “normal”.
Karena Instagram sangat mengedepankan visual, ditambah dengan fitur-fitur edit, maka para penggunanya bisa memilih variasi dalam mempresentasikan dirinya di media sosial.
Target presentasi diri yang dilakukan oleh individu kebanyakan adalah orang yang dikenal dan mengenali dirinya. Individu mengharapkan respons yang positif sehingga dapat meningkatkan harga dirinya.
Banyaknya unggahan selfie yang dibagikan oleh seseorang di Instagram terkait dengan narsisme dan harga diri. Harga diri yang bergantung pada persahabatan merupakan faktor penting bagaimana seseorang mempresentasikan diri dalam hubungan personal.
Jika harga diri seseorang bergantung pada seberapa baik hubungan seseorang tersebut dengan orang lain, dia mungkin akan lebih termotivasi untuk meluangkan waktu dan tenaga untuk presentasi dirinya dan menjaga pandangan positif orang lain terhadap dirinya.
Motif utama untuk menghadirkan diri pada situs internet ditujukan untuk menyampaikan gambar atau citra diri yang diinginkan. Selain itu, ada banyak individu yang semakin meningkat harga dirinya ketika temannya di Instagram semakin banyak.
Banyaknya jumlah teman yang dimiliki dalam media sosial dipersepsikan sebagai salah satu bentuk dukungan sosial yang dimiliki individu. Individu cenderung akan berusaha terus menampilkan presentasi diri secara online yang sifatnya positif untuk mempertahankan dan menambah temannya di media sosial. Kemudian, individu dapat merasa berharga karena adanya dukungan teman.
Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung meningkatkan diri, sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah cenderung memproteksi dirinya sendiri dalam perilaku presentasi diri. Mereka akan menurunkan rating diri mereka di depan umum atau di saat situasi yang mengancam.
Jika sumber harga diri sangat bergantung pada relasi persahabatan, maka akan berkembang kecenderungan yang kurang baik. Individu tidak dapat memandang dirinya sebagai figur yang berharga tanpa keberadaan dan pengaruh dari teman yang dianggap penting.
Media sosial menjadi wadah yang menjembatani relasi pertemanan beda waktu dan lokasi geografis, dan menyediakan dukungan sosial kepada individu. Kondisi seperti ini mendorong individu untuk mengalami kecemasan ketinggalan informasi di media sosial yang lebih tinggi karena besarnya ketergantungan dengan individu lain yang dianggap penting di dalam media sosial.
Fenomena kecemasan ketinggalan informasi di media sosial dapat dipahami sebagai situasi yang timbul akibat kurang atau buruknya regulasi diri (self-regulatory) dan kepuasan psikologis seseorang. Selain itu, fenomena ini diduga dapat membantu menjelaskan penggunaan media sosial yang bersifat eksesif oleh masyarakat.
FoMO mempengaruhi penggunaan media sosial dari sisi relasi sosial. Ini artinya pengalaman yang berharga terkait hubungan dengan orang lain, atau persepsi bahwa relasi sosial yang dibangun bersifat menguntungkan dan memuaskan akan dipertahankan oleh individu tersebut.
(Baca juga: Instagram Jadi Media Sosial Paling Buruk bagi Kesehatan Mental)
Individu yang bermasalah dalam relasi dengan orang lain, cenderung memiliki tingkatan FoMO yang tinggi sehingga menjadi agak berlebihan saat menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain.
Dari hasil catatan yang berkaitan dengan milenium dewasa, usia 18-34 tahun, 70% dari mereka mengakui bahwa mereka merasa terkait dengan FoMO.
Demikian pula, 36% dari milenium dewasa mengakui bahwa mereka mengalami FoMO dalam tingkatan sering atau kadang-kadang. Terutama, 46% dari milenium dewasa mencatat bahwa rasa takut kehilangan yang mereka miliki telah diperkuat dengan menggunakan media sosial. Individu memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih cemas, mudah marah, merasa lebih memadai dan memiliki perasaan rendah diri yang bersifat sementara setelah melihat media sosial.
Dengan hubungan secara terus-menerus ke teman-teman mereka yang update media sosial, hampir tidak mungkin mereka tidak mengetahui apa yang orang lain lakukan dan katakan setiap saat.
Karena itu, FoMO mampu menjelaskan keterlibatan yang mendalam dan berlebihan dari seorang individu dalam semua aktivitas yang melibatkan media sosial. Lalu, apakah Anda termasuk orang yang takut ketinggalan informasi ketika telepon seluler Anda mati?
Frensen Salim, Associate Research Scientist Cyberpsychology Studies Center,, Universitas Gunadarma
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR