Nationalgeographic.co.id—Meskipun kata 'mandala' hanya berarti "lingkaran" atau "objek diskoid" dalam bahasa Sansekerta, maknanya jauh lebih kompleks. Secara tradisional, mandala mewakili kerumitan alam semesta dan berfungsi sebagai panduan untuk praktik reflektif seperti meditasi.
Mandala telah hadir dalam Tantra Hinduisme, Tantra Buddha, dan Jainisme selama ratusan tahun.
Biasanya dibuat dan dilukis dalam beberapa versi pada kayu, dinding, kertas, batu, dan kain. Mandala diabadikan dalam arsitektur sakral dan juga menunjukkan sifat tidak kekalnya dalam bahan seperti mentega dan pasir.
Namun, ada fitur utama yang ditemukan di sebagian besar desain mandala tradisional yaitu geometri. Awalnya, mandala terdiri dari lingkaran konsentris di dalam bujur sangkar, bujur sangkar di dalam lingkaran, bintang bercabang enam, atau segitiga silang terbalik.
Cara tradisional untuk membuat mandala adalah mulai dari tengah dan meluas ke luar pada desain. Bentuk paling dasar dari mandala memiliki empat "gerbang berbentuk T", mencakup warna kuning, merah, hijau, dan biru.
Seringkali, kita membayangkan gambar yang rumit ketika kita memikirkan kata mandala. Kalacakra Buddhis Tantra atau Roda Waktu merupakan contoh mandala visual yang paling terkenal. Mandala dipercaya mewakili sifat murni dari segala sesuatu. Jika bermeditasi pada mandala, diyakini mampu mengubah persepsi dan pengalaman yang tidak murni dan mendapatkan akses ke realitas terdalam.
Contoh mandala yang terkenal lainnya ditemukan pada salah satu lukisan skala besar paling awal dari Nepal (1100 M0. Mandala yang menggambarkan Chakrasamvara yang murka dan pendampingnya Vajrawarahi. Enam dewi mengelilingi pasangan, masing-masing ditampilkan pada kelopak bunga teratai bergaya yang membentuk wajra (senjata).
Lukisan pasir Buddha Tibet menjadi bentuk paling populer kedua dari kreasi mandala. Dibutuhkan latihan selama bertahun-tahun untuk membuat mandala ini. Mandala pasir dibuat dengan menempatkan bubuk berwarna di atas cetak biru geometris kapur putih. Seringkali empat biksu mengerjakan satu mandala pasir – di masing-masing dari empat kuadran tradisional.
Mereka tidak mengerjakan desain pada saat yang sama, setiap bhikkhu bergiliran setelah yang lain menyelesaikan tugasnya. Mandala pasir dianggap sebagai alat pencerahan pribadi, juga cara untuk membawa kedamaian, kebijaksanaan, dan pembebasan bagi semua makhluk.
Yang paling menarik dari mandala pasir adalah karya dihancurkan secara ritual setelah kerja keras dalam pembuatannya. Dibutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk membuat mandala pasir. Tindakan ini dimaksudkan untuk melambangkan gagasan Buddhis tentang ketidakkekalan.
Baca Juga: Borobudur, Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa dalam Ekspresi Bermusik
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR