Nationalgeographic.co.id—Tahun lalu pemerintah Indonesia mencanangkan proyek “Jurassic park” di Taman Nasional Komodo. Proyek ini mendapatkan respon dari berbagai kalangan. Banyak orang mengatakan keberadaan proyek ini dapat mengancam kehidupan komodo sebagai hewan purba yang kondisinya terancam punah. Namun tahukah Anda jika di Indonesia masih terdapat beberapa kehidupan hewan purba selain komodo?
Dhanang Puspita, Andy S. Wibowo, dan Mohamad Ruly Fauzi, melakukan sebuah eksplorasi pada Gua Mesiu yang terletak di Bukit Bulan, Provinsi Jambi. Hasil temuan mereka terbit dalam jurnal Forum Arkeologi. Mereka menemukan beberapa peninggalan manusia prasejarah, seperti gambar cadas (rock art) dan situs lainya. Selain itu mereka juga menemukan beberapa fauna yang hidup di dalam gua tersebut, salah satunya Stenasellus atau udang purba.
Stenasellus merupakan stygobit yang memiliki habitat akuatik di bawah tanah. Ia hidup di dalam genangan air dangkal berlumpur. Diperkirakan hewan ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hewan ini pertama kali ditemukan oleh Armand Viré di barat daya Perancis.
Stenasellus dapat ditandai dengan ukuran tubuh 10 milimeter, dengan ciri-ciri berwarna merah-pucat/muda, tidak bermata, sepasang antenna, rangkaian kaki pendek, dan beberapa lainya. Peneliti mengaku kesulitan ketika mengidentifikasi Stenasellus hingga tingkat spesies, sebab dibutuhkan mikroskop untuk mengobservasi anatomi kepala, badan, serta anggota tubuh lainya. Meskipun demikian peneliti menyimpulkan, Stenasellus yang ada di Gua Mesiu digolongkan kedalam Stenasellus sp. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan dengan deskripsi Stenasellus sp. di Jawa dan Sumatra.
Di pulau Sumatra setidaknya terdapat lima spesies Stenasellus, yaitu S. covillae, S. strinatii, S stocki, S. monodi, dan S Foresti. Penyebaran hewan ini dikenal cukup luas di dunia lama, namun amat terbatas pada lingkungan akuatik bawah tanah. Hal ini dibuktikan ketika Danang dan rekanya melakukan eksplorasi di kawasan kars Bukit Bulan, ia hanya menemukan habitat Stenasellus pada Gua Mesiu. Padahal mereka sebelumnya telah menjelajah gua-gua yang tersebar di Bukit Bulan.
“Sebagai gambaran, dari total 47 lokasi gua dan ceruk yang telah diobservasi dalam kurun waktu 2015-2018 di Bukit Bulan, hewan ini baru berhasil ditemukan di satu lokasi, yaitu di Gua Mesiu,” kata Andy salah satu anggota tim penelitian.
Peneliti mengungkapkan bahwa Gua Mesiu memiliki tiga kawasan apabila ditinjau dari intensitas cahaya, yaitu zona terang, zona temaram, dan zona gelap. Perbedaan ketiga zona tersebut sangat mempengaruhi ekosistem yang ada di dalamnya.
Saat melakukan eksplorasi, penenliti hanya menemukan stenasellus dalam zona gelap total. Ia memiliki karakteristik habitat yang temperaturnya relatif stabil, lembab, dan gelap. Lokasi dengan karakteristik seperti ini tidak ditinggali oleh manusia prasejarah. Tidak adanya aktivitas manusia prasejarah diduga menjadi penyebab keberadaan hewan tersebut hingga saat ini.
“Terbatasnya pusat aktivitas manusia prasejarah penghuni gua pada Zona Terang. Besar kemungkinan pola tersebut menjadi salah satu faktor penyebab bertahannya populasi Stenasellus sp. dan cavernicoles lainnya di Bukit Bulan,” kata Dhanang selaku penulis jurnal.
Stenasellus sangatlah rentan dari kepunuhan. Hal ini disebabkan oleh siklus kehidupan hewan tersebut berada di bawah tanah, dengan kondisi lingkungan yang sangat stabil, sehingga membuat mereka sangat sensitif terhadap perubahan.
Eksistensi Stenasellus di Bukit Bulan menjadi salah satu bukti sejarah, bahwa Pulau Jawa dan Sumatra pernah bersatu akibat penurunan muka-laut global periode glasial. Hal ini dikuatkan oleh kemiripan fisiologi Stenaselldae Jawa (S. javanicus) dan Sumatra (S. Strinatti dan S. monodi).
Baca Juga: Ratusan 'Udang Dinosaurus' Bermata Tiga Muncul Setelah Hujan Lebat
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR