Nationalgeographic.co.id - Sudah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa seseorang yang menghabiskan lebih dari 10 hari dalam kesendirian yang tak disengaja, dapat menderita beberapa efek kesehatan emosional, kognitif, sosial, dan fisik, seperti susah tidur hingga halusinasi.
Itulah kita, manusia, makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain setidaknya sekadar bertukar sapa. Gajah pun demikian, sama-sama makhluk sosial yang tidak bisa terlalu lama dalam kesendirian. Ahli saraf Bob Jacobs dari Colorado College telah mempelajari otak manusia dan hewan, mengatakan bahwa mamalia sosial lainnya punya reaksi serupa dengan kita bila kesepian.
"Secara umum, semua mamalia mengikuti cetak biru dasar yang sama dalam hal struktur dan fungsi otak," ujarnya di National Geographic. Masalahnya, sekarang ada banyak gajah tangkapan yang hidup sendiri di kebun binatang atau bisnis pinggir jalan.
Baca Juga: Arca Megalitik Pasemah Ungkap Kehidupan Berdampingan Manusia dan Gajah
"Dari semua yang kita ketahui soal otak, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa otak gajah akan bereaksi berbeda terhadap sel isolasi daripada otak manusia," ujar Jacobs. Gajah memiliki otak yang dirancang untuk lingkungan tertentu dan sensitif terhadap perubahan di lingkungannya berada.
Namun, terkadang kondisi membuat mereka sangat sulit dibuat untuk bisa berinteraksi dengan gajah lainnya. Misal, Natural Bridge Zoo di Virginia, AS, seekor gajah Afrika betina bernama Asha harus tinggal di kandang sendirian sejak berusia 30 tahun dan kini hampir berusia 40 tahun.
Karl Mogensen, pemilik kebun binatang itu mengatakan kehidupan Asha sangat baik. Dia juga mendapatkan "fasilitas yang indah" tetapi penyendiri.
"Dia (Asha) adalah produk dari operasi pemusnahan pada 1985," terangnya. "Dia yang kami sebut gajah keluarga—benar-benar terikat dengan kami dan orang-orang [di sini], memiliki kehidupan yang sangat baik … Kami sangat nyaman dengan cara kami merawatnya."
Baca Juga: Eksekusi Gajah, Metode Hukuman Mati Era Kuno yang Mengerikan
Pihak kebun binatang itu juga pernah mengabarkan di laman Facebook bahwa diri mereka sangat melindungi Asha, ketika ada kelompok hewan "radikal" yang mau menculiknya. Asha tidak bisa dilepaskan begitu saja, pihak kebun binatang menyampaikan "di dunia yang sempurna, dia akan ada di Afrika, BEBAS," pada Juni 2018. Mereka khawatir perdagangan gading, perburuan, dan penggundulan hutan, Asha dan gajah lainnya justru menghadapi kehancurannya.
September 2021, Philip Ensley, dokter hewan yang bekerja di organisasi nirlaba Free All Captive Elephants mengunjungi kebun binatang ini. Organisasi ini kerap mengkritik kondisi Asha di sana. Ensley mengutarakan gajah itu bergoyang ke depan dan ke belakang, mengubah berat badannya dari anggota badan tertentu yang berpotensi untuk radang sendi yang umum terjadi di penangkaran hewan.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR