Oleh Ida Fitri Astuti dan Leonard Chrysostomos Epafras - ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies)
Nationalgeographic.co.id—Pagebluk telah berjangkit selama dua tahun. Kita tidak tahu pasti, sampai kapan kita akan hidup bersama pandemi?
Setiap orang bersiasat untuk bisa hidup selama masa sulit ini sebaik-baiknya, sepantas-pantasnya. Namun demikian, pandemi tampaknya tidak menyurutkan hasrat manusia untuk tetap berbagi kepada sesama. Bahkan, kita menyaksikan bahwa selama pandemi banyak perempuan Indonesia mampu bertransformasi menjadi sosok perekat keluarga, agen pembangun ketahanan sosial, dan aktivis lintas ruang, termasuk dunia daring.
“Pandemi membuat semakin terpacu untuk keluar dari kesusahan. Jadi asal ada kesempatan saya jual terus, jual apa saja” ujar Weni. Kemudian dia menambahkan, “Pandemi semakin memacu kita keluar, pikiran menjadi lebih kreatif.”
Weni adalah perempuan Tionghoa muda dan seorang Buddhis yang taat. Setiap hari dia melayani pelanggan warung yang menjual kebutuhan pokok di sudut Kota Banda Aceh. Perempuan ini berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya, sebab selama pagebluk tak bisa lagi mengandalkan penghasilan suami yang hanya menjajakan produk asuransi.
Sebagai peranakan Tionghoa Hakka—lebih populer disebut "orang Khek"— dia bergiat di Yayasan Hakka Banda Aceh. Yayasan ini didirikan oleh perkumpulan komunitas Hakka setempat. Boleh dibilang, sub-etnik Hakka merupakan minoritas dibandingkan sub-etnik Hokkian, namun yayasan ini menghidupi semangat lintas iman.
Bersama teman-teman Kheknya yang Kristen, Katolik, Konghucu, dan tetangga-tetangga muslimnya, Weni bergerak membantu masyarakat yang membutuhkan selama pandemi di Banda Aceh. Langkah kecil mereka bermula dengan membagi-bagikan masker secara gratis kepada warga sebagai upaya pencegahan badai pandemi susulan. Selain itu Weni dan komunitasnya membuka 'Warung Murah Fakir Miskin' yang menjual beras murah kepada masyarakat yang membutuhkan.
Manuver lainnya diceritakan oleh perempuan-perempuan dari komunitas Ahmadiyah di Kota Bandung, seperti Ratna dan Ayi. Ada ketegangan antara menjalankan kewajiban agama dan mengelola keuangan keluarga yang tersungkur selama pagebluk.
Tantangan setiap bulan bagi keluarga Ahmadiyah adalah keharusan menyisihkan candah. Meskipun besarnya tidak ditentukan, iuran bulanan ini diwajibkan bagi anggota komunitas Ahmadiyah dalam menghayati ke-Islam-an mereka.
“Namun melalui berbagai bentuk kepekaan sosial antar jamaah, kekurangan dalam pembayaran atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat dipantau,” kata Ratna—salah satu pengurus Lajnah Imaillah (LI) Bandung. “Sebab, pemungut candah juga bertugas untuk memeriksa kebutuhan sehari-hari jamaah ketika pandemi.”
Mereka memahami bahwa iuran ini menjadi sumberdaya pengembangan komunitas dan pelayanan bagi masyarakat luas. Alih-alih berdiam meratapi situasi ini, mereka begitu mendukung beragam program LI sebagai lembaga yang menaungi kaum perempuan Ahmadiyah untuk saling mendukung sesama anggota.
Seperti disampaikan oleh Ayi, “Beberapa kali LI melaksanakan bakti sosial dengan melibatkan komponen lintas agama seperti Gerakan Donor Darah Nasional, Humanity First, PMI dan Kodim Soreang.”
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR