Nationalgeographic.co.id—Ramadan lebih dari sekadar masa puasa. Ini merupakan bulan suci yang berakar pada budaya, iman, dan sejarah. Di seluruh dunia, umat Islam menandai momen ini dengan perayaan meriah yang unik di wilayah mereka. Biasanya, perayaan, tradisi, atau ritual ini diwariskan dari generasi ke generasi.
Bulan suci ditandai dengan tradisi bersama seperti puasa, amal dan doa, serta praktik yang bervariasi pada setiap budaya. Bagaimana Ramadan dirayakan di berbagai belahan dunia?
Ritual pembersihan menandai Ramadan di Indonesia
Di seluruh Indonesia, umat Islam melakukan ritual yang berbeda untuk 'membersihkan' diri pada hari sebelum Ramadan. Beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki tradisi penyucian yang disebut padusan (berarti mandi dalam dialek Jawa). Umat Islam di beberapa tempat menceburkan diri ke mata air, merendam tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Padusan merupakan bukti sintesis agama dan budaya di Indonesia. Mata air memiliki makna spiritual yang dalam di budaya Jawa. Sehingga, ini merupakan bagian integral dari penyucian untuk bulan suci.
Tradisi ini diyakini disebarkan oleh Wali Songo, para tetua dan pemuka agama setempat memilih dan menetapkan mata air suci untuk padusan.
Tembakan meriam berbuka puasa di Lebanon
Di banyak negara di Timur Tengah, meriam ditembakkan setiap hari selama bulan Ramadan untuk menandakan akhir puasa.
“Tradisi 'midfa al iftar' ini dipercaya dimulai di Mesir lebih dari 200 tahun yang lalu,” tutur Kevin Whipple dilansir dari laman The Culture Trip. Pada saat itu Mesir dipimpin oleh penguasa Ottoman Khosh Qadam. Ia sedang menguji Meriam saat matahari terbenam dan tidak sengaja menembakkannya.
Suara Meriam yang bergema di seluruh Kairo membuat warga berasumsi bahwa ini adalah cara baru untuk menandakan akhir puasa. Haja Fatma, putrinya, mendesak sang Ayah untuk menjadikan ini sebagai tradisi berbuka puasa.
Praktik ini menyebar ke banyak negara di Timur Tengah termasuk Lebanon, di mana meriam digunakan oleh Ottoman untuk menandai buka puasa di seluruh negeri.
Penjaga kota berkeliling mengumumkan sahur di Maroko
Selama Ramadan di Maroko, nafar menandai dimulainya fajar dengan melodinya. Ia adalah seorang penjaga kota yang mengenakan pakaian tradisional gandora, sandal dan topi.
Dipilih oleh warga kota karena kejujuran dan empatinya, nafar berjalan menyusuri jalan sambil meniup terompet. Ia bertugas untuk membangunkan warga saat sahur.
Tradisi ini, yang menyebar ke seluruh Timur Tengah hingga Maroko, berasal dari abad ketujuh. Saat itu seorang sahabat Nabi Muhammad berkeliling saat fajar menyanyikan doa-doa yang merdu.
Ketika musik nafar menyapu seluruh kota, warga menyambutnya dengan rasa syukur.
Mengamati bulan penanda akhir Ramadan di Afrika Selatan
Akhir Ramadan ditandai dengan munculnya bulan sabit pertama. Meskipun ini dipraktikkan di seluruh dunia, keunikan tradisi ini di Afrika Selatan diilustrasikan oleh maan kykers (bahasa Afrika untuk 'pengamat bulan').
Muslim dari seluruh Afrika Selatan berbondong-bondong ke Cape Town untuk mengamati bulan baru. Namun hanya maan kykers, yang ditunjuk oleh Dewan Peradilan Muslim Afrika Selatan, yang dapat menyatakan penampakan resmi.
Berdiri di sepanjang pantai di Sea Point Promenade, di Three Anchor Bay atau bahkan di atas Signal Hill, mereka akan mengumumkan kepada komunitas Muslim bahwa Idulfitri sudah tiba.
Whipple menambahkan, “Bulan harus terlihat dengan mata telanjang, dan pada malam yang sangat cerah di Cape Town.”
Genderang penanda sahur di Turki
Sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah, warga yang berpuasa dibangunkan oleh suara genderang di pagi hari untuk sahur. Meski sudah modern, lebih dari 2.000 penabuh masih berkeliaran di jalan-jalan Turki selama bulan suci.
Penabuh genderang mengenakan kostum tradisional Ottoman, berkeliling dengan davul (gendang berkepala dua Turki). Mereka mengandalkan kemurahan hati penduduk untuk memberi mereka tip (bahşiş). Tidak jarang warga mengundang penabuh untuk bersama-sama sahur.
Lentera warna-warni menghiasi bulan suci di Mesir
Setiap tahun, orang-orang Mesir menyambut Ramadan dengan fanous warna-warni. Ini adalah lentera denga motif rumit yang melambangkan persatuan dan kegembiraan sepanjang bulan suci.
Meskipun lebih bersifat budaya daripada agama, tradisi identik dengan bulan suci Ramadan, yang memiliki makna spiritual.
Banyak kisah yang berbeda-beda tentang asal mula fanous. Ada yang menyebutkan fanous diprakarsai oleh dinasti Fatimiyah. Saat itu orang Mesir menyambut Khilafah Al-Muʿizz li-Dīn Allah saat ia tiba di Kairo pada hari pertama Ramadan.
Baca Juga: Haq Al Laila, Tradisi Menyambut Ramadan yang Penuh Makna Kebersamaan
Baca Juga: Kurma, Buah Kesukaan Nabi Muhammad yang Memiliki Banyak Manfaat
Baca Juga: Sepuluh Kota dengan Durasi Puasa Ramadan Terlama dan Tersingkat
Untuk menyediakan pintu masuk yang terang bagi imam, para pejabat militer memerintahkan penduduk setempat untuk memegang lilin di jalan-jalan yang gelap. Lilin itu dinyalakan dalam bingkai kayu.
Seiring berjalannya waktu, struktur kayu ini muncul menjadi lentera berpola. “Sekarang, fanous dinyalakan di seluruh negeri, menyebarkan cahaya selama bulan suci," tutur Whipple.
Pria berkumpul untuk permainan mheibes di Irak
Pada dini hari, setelah berbuka puasa, para pria di seluruh Irak berkumpul untuk permainan tradisional mheibes.
Dimainkan selama bulan Ramadan, permainan ini melibatkan dua kelompok yang terdiri dari sekitar 40 hingga 250 pemain. Semuanya bergiliran menyembunyikan mihbes atau cincin.
Sebuah permainan penipuan, mheibes dimulai dengan pemimpin tim memegang cincin, tangannya terbungkus selimut. Lainnya harus duduk dengan kepalan tangan di pangkuan saat pemimpin memberikan cincin itu ke salah satu pemain secara rahasia.
Dalam pertukaran yang menegangkan, lawan harus menentukan siapa yang menyembunyikan cincin. “Mereka harus menebaknya dengan mengamati bahasa tubuh para pemain,” kata Whipple.
Meskipun asal-usulnya tidak diketahui dengan pasti, permainan ini memiliki nilai budaya dan sejarah yang mendalam. Beberapa dekade yang lalu, pemerintah Irak menyelenggarakan permainan di seluruh komunitas menampung ratusan peserta dan menyatukan penduduk dari seluruh negeri.
Source | : | The Culture Trip |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR