Nationalgeographic.co.id - Burung passerine adalah burung dalam ordo Passeriformes yang merupakan ordo burung terbesar dan paling beragam di dunia. Di Indonesia misalnya, banyak orang yang akrab dengan nama burung pipit, burung kenari hingga burung gereja yang dalam bahasa latin memiliki berarti Passer.
Studi baru dari University of Sheffield menunjukan bahwa burung jantan dan betina dari spesies passerine tropis, yang hidup di dekat khatulistiwa—umumnya lebih berwarna daripada rekan-rekan mereka yang beriklim sedang. Temuan tersebut jelas menarik bagi para ilmuwan, apakah kehidupan umumnya lebih berwarna di daerah tropis?
Pada penelitian ini, para peneliti menganalisis dataset fotografi untuk lebih dari 4.500 spesies burung passerine. Laporan penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal bergengsi nature ecology and evolution dengan judul "Latitudinal gradients in avian colourfulness".
Seperti diketahui, naturalis abad ke-19 seperti Alexander von Humboldt, Charles Darwin, dan Alfred Russel Wallace berpendapat kemungkinan adanya tren skala global dalam warna organisme. Pendapat tersebut mereka dapatkan setelah diberi kesempatan untuk bepergian secara ekstensif di daerah tropis. Mereka berkomentar tentang ' berbagai' dan 'campuran warna' yang mereka temui selama perjalanan mereka.
Sejak itu, berbagai penjelasan yang berfokus pada gradien terkait garis lintang dalam faktor biotik dan abiotik telah diajukan untuk menjelaskan asumsi peningkatan warna spesies tropis. Termasuk efek positif dari kondisi iklim yang lebih ramah dan strategi ekologi tertentu yang lebih lazim di lintang rendah.
Namun, pada abad-abad setelah pengamatan anekdot awal ini, para ahli biologi telah berjuang untuk menguji secara meyakinkan keberadaan gradien garis lintang skala global berkaitan dengan warna-warni spesies. Ilmuwan mempertanyakan apakah 'aturan' biogeografis yang telah lama diasumsikan ini benar-benar ada.
"Kami menguji apakah gradien garis lintang dalam warna-warni spesies ada untuk radiasi global burung passerine (ordo Passeriformes), ordo unggas terbesar, yang terdiri dari 60 persen dari 10.000 spesies burung,” kata Dr. Chris Cooney dari University of Sheffield dan rekan seperti dilansir sci-news.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para peneliti menganalisis lebih dari 140.000 foto cahaya tampak dan ultraviolet dari spesimen museum jantan dan betina untuk 4.527 spesies burung pengicau (76 persen keanekaragaman burung pengicau). Mereka mengidentifikasi warna bulu pada 1.500 titik individu pada setiap spesimen dengan mengekstraksi informasi dari piksel foto.
Ini kemudian memungkinkan tim untuk mengekstrak jumlah total 'lokus warna' per spesimen sebagai metrik warna yang intuitif. Tidak sepenuhnya jelas mengapa burung tropis lebih berwarna. Namun kemungkinan hal itu disebabkan oleh perbedaan pola makan antara spesies tropis dan non-tropis, serta pengaruh habitat mereka.
Temuan ini memberikan wawasan tentang bagaimana keanekaragaman hayati didistribusikan di seluruh planet ini. Dan akan memungkinkan para peneliti untuk menentukan 'hot spot' warna burung dan menjadi lebih sadar tentang apa yang bisa hilang jika spesies burung dan habitatnya tidak dilestarikan secara efektif.
Source | : | Nature Ecology & Evolution,Sci-News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR